Sixteen Years Old -Debaran Hati Terguncangnya Pikiran-

Assalamualaikum, Amel  kembali lagi dengan cerita yang seru dan insyaallah menarik. selamat membaca :)

*Bingkisan Salah Paham*
“Ini Ra, ada titipan dari Randi.” Ucap Nasya sembari memberikan sebuah bingkisan kepadaku.
Apa ini? Apa dia menyukaiku? Kenapa dia tidak memberikannya langsung?
“Oh, makasih ya.” Jawabku sembari menerima bingkisan berpita ungu yang cantik.
“Sebenernya Anggun atau Rara sih yang Randi suka? Tapi kayaknya Anggun deh tapi kenapa bingkisan itu di kasih ke Rara?” terdengar olehku gumaman Nasya yang berjalan menuju tempat duduknya.
Apa?! Anggun? Apa aku kalah lagi? Lalu apa bingkisan ini? Jangan-jangan Randi memberikan langsung kepada Anggun, kenapa Randi menitipkan ini? Dia kan bisa kasih ke aku langsung?
“Maaf Sya, tolong bilang ke Randi aku nggak bisa terima ini, kalo dia emang bener-bener mau ngasih, suruh dia kasih ke aku lansung.” Ucapku di depan meja Nasya dan meletakkan bingkisan itu di atas meja.
Sialan! Padahal aku menyuki bingkisan itu. Kenapa aku tidak mengintipnya? Tapi sudahlah, kali ini aku tidak mau kalah dari Anggun.
Anggun, seseorang yang selalu membuatku bersemangat untuk bersaing ( dalam segala hal) kami saling mengenal sejak duduk di bangku sekolah dasar kami memang terlihat seperti musuh, tetapi kami sangat saling mengenal satu sama lain.  Musuh?  Tapi kami sangat baik dalam mengenal pribadi masing-masing. Sahabat?  Aku rasa itu juga tidak.
Aku Rara, seseorang yang selalu ingin bersaing dengan Anggun, seseorang yang tidak ingin di kalahkan tetapi selalu tidak pernah menang, ya, inilah aku. Walaupun usiaku sudah hampir 16 tahun, satu kali pun aku belum pernah mengalahkan Anggun. Randi, teman satu angkatan ku tetapi berbeda kelas, sungguh malang karena dia telah menjadi incaran ku untuk bersaing dengan Anggun.
“Udah bel belum Ra?” tanya Ragil terengah-engah, lalu duduk di sebelahku.
“Udah, tapi kali ini kamu aman Gil kayaknya Pak Ridwan telat.” Jawabku sembari memukul pundak Ragil. Ragil hanya menghembuskan nafas lega.
Ragil, teman sebangku yang berparas indah dan cerdas, walupun ia cerdas ia selalu terlambat berangkat ke  sekolah, setiap hari alasannya selalu berbeda-beda, ya karena dia cerdas mungkin sudah lebih dari 100 alasan berbeda yang sudah ia buat selama belum genap 1 tahun kami berada di kelas X ini.
“Selamat Pagi Anak-anak.” suara lantang dan sesosok yang tegap dan menyeramkan berdiri di depan kami, memberi salam dan tidak lupa membawa setumpuk buku dan penggaris panjang berukuran 100 cm yang terbuat dari kayu. Pak Ridwan memasuki ruang kelas dan duduk di kursinnya.
“Selamat Pagi pak.” Jawabku dan teman-teman serentak.
Pak Ridwan,guru mata pelajaran Matematika yang lumayan di takuti oleh muruid-murid di kelasku. Beliau memiliki paras yang lumayan sangar, berkumis tipis dan rambut yang agak keriting ( nggak lurus ), matanya sipit dan hidung yang berukuran lebih besar dari hidung biasannya. Walaupun begitu beliau menjadi guru idaman di kalangan mbak-mbak kantin.
Setelah mendengarkan dan mengerjakan tugas dari Pak Ridwan aku dan Ragil asyik mengobrol tentang sesuatu hal yang tidak penting, tetapi itu suatu kebiasaan yang sangat mengasyikkan. Obrolan kami terus berlanjut hinngan bel istirahat berbunyi.
                                                                              ***
Seperti biasa, saat jam istirahat tiba aku lebih memilih duduk di bawah pohon yang tak jauh dari kelasku. Dari kursi itu aku bisa melihat banyak hal, seperti lapangan basket, perpustakaan, ruang guru dan deretan ruang kelas.
“Ra.” Terdenagar suara yang tak asing di belakangku.
Aku rasa dia Randi. Apa?! Dia benar-benar menemuiku?
“ini buat kamu, kenapa kamu balikin?” lanjutnya sembari duduk di sebelahku dan menyodorkan bingkisan itu di dekat tanganku.
“Tapi kayaknya kamu salah kasih deh, bukan aku yang kamu kasih.” Jawabku singkat tanpa memandangnya.
“Maksud kamu apa Ra?” tanya Randi bingung.
“Anggun.” Jawabku singkat.
“Anggun kenapa? Apa hubungannya sama dia?” tanya Randi makin bingung.
“Seisi sekolah juga tau kali kalo Anggun suka sama kamu.” Jawabku ketus.
“Terus? Apa hubungannya sama ini?” tanya Randi sembari menunjuk bingkisan yang masih di pegangnya.
“Gini lo Ran, temen-temen tau kalo Anggun suka sama kamu tapi mereka bingung sebenernya kamu suka sama Anggun apa enggak? Kalo kamu suka dia kenapa kamu kasih itu ke aku? Sebenernya yang kamu suka itu siapa?” jawabku dengan nada yang agak tinggi.
“Em, kayaknya kamu salah paham deh Ra.” Ucap Randi sembari tersenyum.
“Salah paham?” tanyaku bingung.
Aduh. Apa lagi coba? Di mana salah pahamnya? Apa dia suka sama Anggun? Kalo itu bener kekalahan akan segera menghampiriku.
“Ini ambil.” Ucap Randi sembari meletakkan bingkisan itu di tanganku. Aku masih terdiam bingung.
“ya, Anggun memang suka sama aku dan kayaknya aku juga suka sama dia. Tapi ini oleh-oleh dari papa aku, lagian semua anak musik juga dapet kok Ra. Maaf ya udah buat kamu salaah paham.” Lanjut Randi menjelaskan dan berjalan meninggalkanku dengan sedikit tawa di bibirnya.
Apa?aku pikir Randi menyukaiku dan aku bisa mengalahkan Anggun. Aduh muka ini mau di taro mana? Malunya bukan main.
“Kenapa Ra, kok cemberut gitu?” tanya Ragil yang berjalan ke arah ku. Aku hanya menggeleng pelan dan tertunduk.
“Oh, itu?” lanjutnya sembari memonyongkan bibir ke arah Randi yang berjalan menjauhi kami. Aku hanya menghela napas.
“Kenapa sih? kenapa? Ayo cerita.” Ucap Ragil penasaran.
“Ih, enggak lah Gil. Ayo masuk kelas udah mau bel nih.” Jawabku lalu berdiri dan beranjak pergi. Ragil mengikuti di belakangku dan sesekali menggodaku.
                                                                                 ***

*Lari...!!!*
Aku berjalan ke arah ruang musik.
“Ra, udah dateng?” tanya Kak Renata yang duduk di depan pianonya.
“Iya nih kak.” Jawabku singkat lalu membantingkan tubuhku di kursi.
“Ini kan masih jam istirahat,lagian kelas di mulainya masih 30 menit lagi.” Ucap Kak Renata yang berjalan ke arahku.
“Aku tau kok kak.” Jawabku singkat.
Kak Renata, guru musik di sekolahku. Wanita yang cantik dan anggun, bermata indah dan berambut panjang, dengan tinggi yang semampai dan tentu kulit yang bersih.
Di sekolahku setiap hari Selasa, Kamis, dan Sabtu selalu di adakan kelas pilihan setelah jam istirahat ke-2 atau setelah semua jam mata pelajaran berakhir. Dan aku mengikuti kelas musik.
“Kakak keluar dulu ya.” Ucap Kak Renata pelan dan berjalan ke arah pintu. Aku hanya mengangguk.
“Aissh, aku kenapa sih?” ucapku sembari mengacak-acak rambutku.
“memalukan.” Lanjutku dengan kaki yang ku hentak-hentakkan di lantai.
“haaaaaaaa.” Teriakku lalu menutupi wajah dengan ke dua telapak tanganku.
Aku menghela napas. Melangkah mendekati piano yang tak jauh dari hadapanku. Aku duduk perlahan, menggerakkan jari-jariku dengan lembut untuk menyentuh not-not piano itu, dan sesekali memejamkan mata.
“Ngga cepetan!” teriak seseorang di depan ruang musik yang membuyarkan konsetrasiku.
Aku memandang ke arah pintu, terlihat olehku seorang siswa laki-laki yang menggunakan kaos tim basket sekolahku berdiri di depan pintu, tetapi dia segera berlari ke lapangan menghampiri asal teriakan yang tadi aku dengar. Aku berlari keluar  untuk melihatnya, dia menoleh dan tersenyum.
“Kayaknya aku belum pernah liat dia.” Gumamku dalam hati sembari berjalan masuk mendekati piano.
“dia anak baru ya?” tanyaku pada dirisendiri.
ih apa’an sih Ra. Gitu aja kok di pikirin. ”  lanjutku sembari duduk di depan piano.
“Udah dateng Ra?” suara Randi yang mengagetkanku.
“Eh, iya Ran.” Jawabku sedikit gugup.
Kanapa ketemu dia disini? Hais. Malu.
“Aku mau ke kantin, mau apa?” tanyaku sembari mengambil uang di tasku. Sebenarnya untuk mengalihkan perhatian, supaya aku gak malu karena di kelas musik Cuma ber-2.
“Mau jus mangga Ra.” jawabnya sembari memberikan selembar uang 5000 -an.
Aku berjalan keluar ruang musik, terlihat olehku lapangan basket yang di kerumuni hampir seluruh siswa di sekolahku. Aku berjalan memutar walaupun terlalu jauh, itu lebih baik dari pada aku harus melewati kerumunan anak-anak di lapangan.
Terlihat olehku Anggun dan ke-2 sahabatnya, Putri dan Dewi asyik mengobrol di bangku kantin.
“Mbak jus mangganya 2 ya.” Ucapku kepada mbak kantin lalu duduk di bangku yang tak jauh dari Anggun dan ke-2 sahabatnya.
“Nggun kamu beruntung banget sih bisa jadian sama Randi, udah ganteng, keren dan anak musik lagi.” Ucap Dewi bersemangat.
“Hah, mereka udah jadian?? Aku benar-benar kalah.” Gumamku pelan.
“Mungkin, tapi ada anak baru yang lebih keren dan lebih pintar dari Randi.” Jawab Anggun pelan lalu meneguk jus yang di pegangnya.
“Oh emang iya Nggun??” tanya Putri penasaran.
“iya, ayo kita ke lapangan, katanya dia anak basket.” Jawabnya sembari beranjak dari duduknya.
Anak baru? Anak basket? Keren dan pintar? Apa anak yang aku liat di depan ruang musik tadi ya?? Ah sudahlah.
“Udah dari tadi Ra?” sapa Anggun dengan senyum kemenangan di bibirnya. Aku membalas senyumannya dengan terpaksa.
“Dik, jusnya udah jadi.” Teriak mbak kantin memanggilku.
“Iya mbak.” Jawabku tenang.
“Selamat atas hubungan kalian.” Ucapku sambil berlalu meninggalkan Anggun dan ke-2 temannya.
“Dasar sombong, tidak mau mengakui kekalahan. Sekarang kamu taukan siapa yang lebih unggul diantara kita.” Ucap Anggun sembari merapikan ranbutnya.
Hais,! Menyebalkan. Aku membawa 2 gelas jus menuju ruang musik dengan perasaan dongkol.
Seperti yang sudah aku ceritakan di awal, aku sangat  tidak suka dengannya. Kami selalu bersaing tetapi dia selalu beruntung. Saat kami lulus dari SD, aku merasa sangat senang karena aku segera berpisah dengan Anggun, terbukti kami tidak satu sekolah saat SMP. Setelah 3 tahun berpisah, kami di pertemukan kembali di sekolah ini. Dan aku harus kalah lagi untuk kesekian kalinya. Aku benar-benar membencinya dan semua kekalahan ini. Tapi aku akan mengalahkannya saat ujian akhir semester, aku akan menjadi juara umum untuk membalaskan kekalahan ini.
“Tenang Rara, Randi adalah kekalahan terakhirmu.” Gumamku menenagkan diri sembari terus berjalan.
“Braaaak.” Seseorang menabrakku dari depan, jus yang aku bawa jatuh dan membasahi bajuku dan baju orang yang menabrakku.
“Maaf, maaf, aku nggak sengaja.” Ucapnya sembari melihat kebelakang dengan tegang.
Terlihat olehku gerombolan siswi yang sangat fanatik berlari ke arah kami. Tanpa aba-aba aku lansung menarik tangan laki-laki itu dan berlari ke tempat yang aman, karena aku menyadari gerombolan anak-anak itu sedang mengejarnya.
Saat tiba di belakang ruang kebersihan yang sepi dan teduh akupun menghentikan langkahku dan mengatur napasku yang terengah-engah.
“Makasih.” Ucap anak laki-laki itu dengan nafas yang juga masih berantakan. Aku hanya mengangguk.
Setelah beberapa menit napas kami mulai teratur dan baru kami sadari ternyata tangan kami masih saling menggenggam erat.
“Maaf.” Ucapku sembari cepat-cepat melepaskan genggamanku.
“kamu anak baru ya?” lanjutku sembari berjalan ke arah bangku yang tak jauh dari tempat kami berdir.
“Iya.” Jawabnya sembari mengikuti di belakangku dan dudk tepat di sampingku.
Aku membersihkan baju dengan tanganku. Di memberikan sapu tangan bermotif kotak-kotak dan membantu membersihkan bajuku.
“Maaf ya, gara-gara aku baju kamu jadi basah dan kotor.” Ucapnya pelan. Aku hanya tersenyum.
“Kamu yang ada di ruang musik tadi ya?” tanyanya sembari terus mengelap bajuku.
“Oh...” teriakku terkejut menydari sesuatu.
Aku melihat arloji di tanganku, sayang nya aku melepasnya saat berada di ruang musik.
“Ada apa?” tanya lelaki itu bigung.
“Jam, jam mana jam?” jawabku sembari menarik pergelangan tangannya, terlihat olehku jarum jam sudah tepat di angka 2.
“Maaf ya, ku ada kelas musik hari ini dan aku udah telat banget.” Ucapku yang langsung berdiri dan berlari meninggalkannya.
                                                                              ***
“Maaf aku telat.” Ucapku sembari membuka pintu dengan napas yang terengah-engah.
“Dari mana Ra?” tanya Kak Renata.
“Maaf kak.” Jawabku singkat dan langsung duduk di kursiku.
“Ayo kita lanjutkan.” Ucap Kak Renata di depan kelas dan kembali menerangkan.
“Ra, mana jusnya?” bisik Randi yang duduk di sebelahku. Aku hanya tersenyum dan menggaruk-nggaruk kepala lalu memperhatikan penjelasan Kak Renata.
                                                                               ***

*Toko Buku*
Ku hempaskan tubuhku di tempat tidur, perasaan lega muncul dan semua rasa lelah musnah. Kelelahan dan kepenatan siang hari selalu menghampirku saat jam pulang sekolah, tetapi saat aku memasuki ruangan yang tidak terlalu besar dan sedikit gelap ini, semua rasa lelahku meleleh begitu saja seperti air sengai yang mengalir ke laut. Dan tidak jarang aku tertidur sebelum berganti pkaian (masih memakai seragam sekoah ), semua itu terjadi begitu saja.
Woy Ra, bangun.” Teriakkan yang tak  asing lagi menusuk lubang telingaku.
“Iya Cahya.” Jawabku kesal sembari berjalan ke arah kamar mandi. Kak Cahya hanya menggerutu dan menutup pintu kamarku dengan keras.
Ridho Cahyani, kakak lelakiku yang terpaut umur 2 tahun lebih tua denganku. Badan yang tinggi berambut hitam dan otot yang cukup kekar. Anak sulung yang masih manja, apalagi sekarang detik-detik menuju Ujian Nasiaonal SMA semua yang dia minta pasti akan di turuti oleh ayah.  Kak Cahya dan aku tidak bersekolah di sekolah yang sama, karena dia tidak mau aku sekolah di tempatnya bersekolah, aku tidak tau alasannya. Akhir-akhir ini dia terlihat sangat sibuk karena mempersiapkan Ujiannnya dan tentu saja ujian masuk perguruan tinggi. Aku dan Kak Cahya terhitung dekat, ya walupun kami sering bertengakar. Tapi menurutku pertengkaran itu yang membuat aku sering merindukannya, apa lagi saat dia sibuk seperti ini. Aku merasa sangat kesepian, dia tidak punya waktu untuk mendengarkan semua ceritaku.
***
Ku langkahkan kakiku menuju dapur. Terlihat olehku Arum yang sedang asyik menonton televisi dengan bunda. Aku mengambil buah apel dari kulkas dan mencucinya. Aku berjalan kembali ke kamar.
“Kak Rara udah bangun?” tanya Arum kepadaku saat ia menoleh ke belakang. Aku hanya mengangguk.
“Kak nanti setelah makan malam aku mau ke toko buku, mau ikut gak?” tanya Arum yang berjalan menghampiriku. Aku menggeleng dan melangkah pergi.
“Aku sama Kak Cahya juga.” Ucapnya menghentikan langkahku. Aku berbalik.
“O.K. aku ikut.” Jawabku tegas.
Sekar Arum, adik perempuanku yang masih kelas IX (3 SMP) yang lumayan tinggi (tapi masih tinggi aku) rambutnya panjang (tapi masih panjang aku) matanya agak besar dan hidungnya mancung (kalo hidung mancungan dia) dan kulitnya gak beda jauh sama aku, sama-sama sawo matang (tapi lebih sedikit putih aku). Dia lahir setelah aku berumur kurang lebih 1 tahun. Jujur, aku gak terlalu deket sama dia, walaupun kita sama-sama perempuan tapi aku agak sedikit kurang pas sama dia. Dia anak kesayangan bunda, maklum anak bungsu jadinya manja namanya juga anak mami. Aku gak pernah ajak dia ngomong, kami gak pernah ngobrol kalau bukan dia yang ngomong duluan.
“Jangan lupa ya Kak.” Ucapnya sembari kembali menonton televisi.
***
“Mana Rara? Kok gak ikut makan?” tanya aseorang lelaki paruh baya yang tengah makan di meja makan.
“Gak tau yah, nanti  juga kesini.” Jawab anak perempuan yang juga duduk di meja makan.
“Cepet panggil kakakmu, dia pasti belum makan dari pulang sekolah.” Ucap lelaki itu lagi.
“Iya yah.” Jawab anak perempuan itu, lalu bergegas pergi.
***
Terdengar suara Arum memanggil dari balik pintu kamarku.
“Iya.” Jawabku sedikit keras.
Aku keluar kamar dan berjalan menuju ruang makan. Terlihat olehku ayah, bunda, dan Kak Cahya sudah duduk di meja makan.
“Tidur Ra?” tanya ayah sembari menatap lurus bola mataku.
“Enggak kok yah.” Jawabku singkat sembari menuangkan nasi ke piringku.
“Makan yang banyak, kamu belum makan dari tadi.” ucap bunda yang meletakkan lauk dan sayur di piringku. Aku mengangguk.
Aku duduk di sebelah Kak Cahya, dan di depan Arum. Bunda duduk di sebelah Arum, dan ayah duduk tak jauh dari bunda. Aku melahap semua makanan di piringku (karena aku memang sangat lapar). Jam makan usai.
Aku duduk di sofa ruang tamu dan di sebelahku Kak Cahya yang serius dengan bukunya. Dari dalam terlihat ayah, bunda, dan Arum yang berjalan ke arah ku.
“Ayo berangkat.” Ucap ayah yang memukul pelan pundakku. Aku dan Kak Cahya berdiri.
***
“Ma, Rangga keluar sebentar ya.” Pamit anak laki-laki tu yang berjalan ke arah garasi.
“Iya, hati-hati. Jangan pulang terlalu malam.” Jawab wanita berumur 35 tahunan yang masih tidak beranjak dari duduknya.
Anak laki-laki itu meninggalkan rumahnya dengan mengendarai motor matic warna hitam miliknya menuju pusat pertokoan yang tak jauh dari rumahnya.
***
Ayah dan bunda menuggu kami di dalam mobil. Aku berada di deretan novel dan cerpen, sedangkan Kak Cahya tentu saja buku pelajaran, dan Arum ( entahlah aku tak bisa menebaknya ) aku melihatnya berdiri tak jauh dari tempat Kak Cahya berdiri. Setelah aku melihat ke sekeliling rak buku, ada satu buku yang menarik perhatianku. Saat aku ingin mengambilnya, ada orang lain yang juga ingin mengambilya.
“Maaf, saya sudah pegang duluan.” Ucapku sembari menarik buku itu.
“Kamu?” ucap orang itu yang ternyata laki-laki yang hari ini menabrakku di sekolah. Aku hanya atersenyum (sebenernya malu juga).
“o iya, kita belum kenalan, nama kamu siapa?” lanjutnya sembari mengulurkan tangannya.
“Rara.” Jawabku singkat dan menerima uluran tangannya.
“Aku Rangga. Kamu suka baca novel ya?” ucapnya memperkenalkan diri.
“Iya, tapi tergantung ceritanya juga sih. Ini bukunya, kamu aja yang ambil.” Jawabku sembari memberikan buku itu padanya.
“Gak usah, kamu aja yang ambil, aku bisa cari  lagi yang lain.” Jawabnya dengan senyum di bibirnya ( senyumnya gak nahan, manis banget ).
“Oke kalok gitu, aku yang ambil.” Jawbku pelan. Dia lagi-lagi tersenyum.
“Kak Rara, buku ini bagus gak?”  suara Arum yang tiba-tiba mengguncang telingaku, dia berjalan ke arahku dan memperlihatkan buku yang ada di tangannya.
“Ya aku gak tau lah, baca aja belom.” Jawabku sedikit kesal. Dia memasang wajah kecewa.
“Bagus kok, aku udah pernah baca. Baca deh pasti seru.” Ucap Rangga yang sedikit mengagetkanku. Aku dan Arum seketika menengok ke arahnya.
“Beneran kak?” tanya Arum penasaran.
“Iya beneran, aku ada buku itu di rumah.” Jawab Rangga meyakinkan.
“Ra, ini adik kamu?” tanya Rangga penasaran.
“He’em.” Jawabku singkat.
“Kakak temennya Kak Rara?” tanya Arum antusias.
“Iya, dia temen kakak. Udah sana cari buku yang lain.” Jawabku dengan nada yang agak tinggi.
“iya-iya.” Jawab Arum dengan muka yang gak woles.
 “kakak namanya siapa? Aku Arum.” Tanya Arum pada Rangga.
“Rangga.” Jawab Rangga singkat.
“Udah cepetan sana.” Ucapku pada pada Arum. Arum berjalan pergi dengan wajah kesal.
“Maaf ya Ngga, adik aku emang kaya gitu orangnya ngeselin.” Ucapku pada Rangga yang berdiri di sebelahku.
“Iya, gak pa-pa kok.” Jawabnya singkat dan kembali memilih-milih buku.
Aku dan Rangga berkeliling toko buku dan sesekali mengganggu satu sama lain.
Rangga, teman baruku. Seseorang yang menabrakku di sekolah siang tadi, berbadan tinggi agak berisi, berambut hitam lurus, ramah dan murah senyum, dan tentu saja berwajah rupawan. Anak basket dan kayaknya dia pinter. Matanya agak sipit dan hidung mancung. Kulitnya putih bersih.
“Ra pulang.” Teriak Kak Cahya dari kejauhan. Aku hanya menganguk.
“Ngga aku pulag duluan ya.” Ucapku lalu bergegas pergi.
“Hati-hati.” Jawab Rangga sedikit keras di belakangku. Aku menoleh dan tersenyum.
***
*Semanis Ice Cream*
Minggu pagi, aku mengayuh sepeda merah Kak Cahya menuju tempat yang sudah aku tentukan dengan Ragil, tepatnya di sebuah persimpangan yang lumayan jauh dari rumahku. Dengan rambut terikat, kaos putih, celana pink dan sepatu olahraga yang juga pink aku terus mengayuh sepeda dan menikmati angin segar di pagi hari. Banyak anak muda bahkan orang dewasa yang berolahraga di hari libur seperti ini, jarang aku lihat kendaraan bermotor yang  melintas, lebih banyak  sepeda dan pejalan kaki.
“Ra.” teriak Ragil yag sudah berada di persimpangan sembari melambaikan tangan ke arahku. Aku juaga melambakan tanganku.
“Gil, kita mau kemana?” tanyaku pada Ragil yang sudah berada di sebelahku dengan sepedah birunya.
“Udah jalan aja lah Ra, nanti kalo ada tempat bagus kita berhenti.” Jawabnya sembari membenarkan rambutnya.
“Ya udah, ayo.” Ucapku sembari memukul pundak Ragil.
Dengan kaos biru, celana hitam dan sepatu olahraga hitam, Ragil mengayuh sepedanya di sebelahku. Kami berjalan bersebelahan. Manikmati kebebasan di hari libur.
“Ra ceritain sih yang kemaren.” Ucap Ragil di sela-sela perjalanan kami.
“Kemaren yang mana?” tanyaku padanya karena bingung apa yang dia bicarakan.
“Itu loh, Randi.” Ucapnya singkat.
“Gak usah lah, males.” Jawabku sembari menjulurkan lidahku ke arahnya.
Ih Rara kok gitu sih.” ucapnya sedikit kesal.
“Biarin.” Jawabku santai.
“Gil.” Ucapku memanggil Ragil.
“Oy, kenapa?” jawabnya dengan muka yang masih serius menatap jalan.
“Gimana kalo kita ke taman kota aja?” tanyaku meminta pendapat.
“Weh, jauh banget itu Ra.” jawabnya seperti kurang setuju dengan saranku.
“Mungkin, tapi dari pada tanpa tujuan kaya gini.” Ucapku dengan nada pasrah.
“Iya juga ya.” Jawabnya sembari menganggukkan kepalanya.
“Eum, ya udah lah, kita ke sana aja.” Lanjutnya.
Wokeh. Siap?” tanyaku dengan semangat.
“Siaaap.” Jawab Ragil yang juga bersemangat.
Aku dan Ragil mengayuh sepedah kami lebih cepat, kami harus sudah sampai di taman kota sebelum jam 8 karena kami tidak mau sengatan matahari membakar  kulit kami. Sebuah perjalanan yang melelahkan.
“Ra istirahat dulu ya, capek nih.” Ucap Ragil setelah lebih dari 45 menit kami bersepeda.
“Iya, aku juga udah capek.” Jawabku dengan nada yang mulai lemas.
“Tapi kok nanggung ya Ra? kan tinggal dikit lagi nyampe.” Ucapnya sembari menoleh ke arahku.
“Ya udah, kita berhenti di minimarket deket tanam kota aja sekalian beli minum.” Jawabku dengan nafas yang mulai berat.
“Ide bagus, haus bandel nih tenggorokanku.” Uacap Ragil yang meraba lehernya. Kami terus mengayuh sepedah, walau sudah semakin berat.
“Akhirnya berhenti juga.” Uacap Ragil lega saat kami tiba di depan minimarket. Aku dan Ragil berjalan memasuki minimarket itu.
Aku dan Ragil mengambil 2 botol air mineral dan beberapa cemilan.
“Gil mau ice cream gak?” tanyaku saat melihat ice cream di dekat kami berdiri.
“Boleh, kayaknya enak.” Jawabnya sembari mengambil 2 ice cream untuk kami.
Setelah membayar semuanya, aku dan Ragil kembali meanjutkan perjalanan (padahal udah sampe, cuma tinggal nyebrang aja). Kami berhenti di bangku taman yang teduh di bawah pohon yang lumayan besar.
“Segeer.” Ucap Ragil setelah meneguk air mineral yang ia pegang.
“Capek ya Gil.” Ucapku sembari meluruskan kakiku.
“Iya Ra, tapi seru.” Jawab Ragil sembari memberikan ice cream kepadaku.
“Gil udah tau belum anak baru di sekolah kita?” tanyaku sembari membuka ice creamku.
“Iya, tapi belum liat langsung. Kenapa?” jawab Ragil sembari memakan ice creamnya.
“Manis banget.” Ucapku sembari membayangkan senyumannya.
“Iya lah namanya juga ice cream, gimana sih Ra.” ucap Ragil santai.
“Heeh. Bukan itu maksudku Gil.” Ucapku sembari menggaruk kapalaku.
“Terus apa?” tanya Ragil yang masih sibuk dengan ice creamnya.
“Rara.”  Teriak anak lelaki yang brdiri jauh di depan kami sembari melambaikan tangan. Aku melambaikan tanganku sembai tersenyum.
“Siapa itu Ra?” tanya Ragil bingung.
“Itu anak barunya.” Jawabku santai.
“Keren Ra. Lho dia kok tau nama kamu?” tanya Ragil yang semakin penasaran. Aku hanya tersenyum.
“Jangan-jangan yang manis tadi anak baru itu, iya kan Ra?” lanjutnya sembari mencubit pinggangku. Aku masih hanya tersenyum.
“Ciee Rara, gak bilang dari tadi.” Uapnya mengodaku. Rangga berjalan ke arah kami.
“Ya kan kamu yang gak nyambung tadi, ih udah lah Gil gak usah ngeledek.” Jawabku malu-malu.
“Ciee cieee.” Ucap Ragil yang masih menggodaku.
“Hai Ra kita ketemu lagi.” Ucap Rangga saat berada tepat di depanku.
“Iya nih, kita jadi sering ketemu.” Jawabku sembari tersenyum.
“Jodoh kali.” Celetus Ragil sembari terus asyik dengan ice creamnya.
“Aduh maaf ya Ngaa temen aku emang orangnya ceplas-ceplos.” Ucapku sembari mencubit kesal Ragil karena membuatku malu.
“Iya gak pa-pa, malahan dia lucu.” Jawab Rangga sembari tersenyum. Ragil menjulurkan lidahnya kepadaku dan tersenyum pada Rangga.
“Kenalin ini temen sekelas aku dan temen sebangku aku, namanya Ragil.” Ucapku memperkenalkan Ragil.
“Aku Rangga.” Ucap Rangga sembari tersenyum pada Ragil dan duduk di sebelahku.
“Kamu sama siapa ke sini?” tanyaku pada Rangga sembari melihat tempat Rangga berdiri sebelumnya.
“Sendiri.” Jawabnya singkat. Aku hanya mengangguk.
“Ra aku mau foto-foto di sana dulu ya.” Ucap Ragil sembari menunjuk tempat yang agak jauh dari tempat kami duduk. Aku menggeleng pelan.
“Aku tinggal ya Ngga.” Lanjutnya sembari benar-benar pergi.
Wah Ragil emang sengaja nih, dasar temen apa’an ninggalin temennya sendirian begini. Bisa mati kutu aku di sini.
“Iya.” Jawab Rangga pelan. Aku hanya terdiam.
Suasana hening sejenak, tak ada percakapan di antara kami. Angin ertiup pelan.
“Rumah kamu deket sini Ra?” tanya Rangga yang membuka percakapan kami.
“Enggak, mungkin 5 kilometer dari sini.” Jawabku sedikit grogi.
“Lumayan jauh juga, naik apa ke sini?” tanya Rangga penasaran.
Tuh.” Sembari menunjuk dua sepeda yang terparkir agak jauh dari tempat kami duduk.
“Naik sepeda?” tanya Rangga sembari tersenyum.
“Iya, pegel banget.” Jawabku sebari menoleh ke arahnya.
“Rumah kamu?” tanyaku sedikit penasaran.
“Deket dari sini, jalan aja sampe.” Jawabnya santai.
“Oh pantesan.” Ucapku pelan.
“Pantesan apa?” tanya Rangga yang mendegar ucapanku.
“Eum enggak.” Jawabku sembari tersenyum ke arahnya. Rangga juga tersenyum.
“Ra aku cabut dulu ya.” Ucap Ragil yang berlari ke arah sepedanya.
“Kenapa? Akunya gimana?” tanyaku yang ikut panik.
“Adik aku jatuh dari tangga dan di bawa ke rumah sakit deket sini, terus mama sama papa aku belum pulang cuma ada satpam rumah aku yang di sana.” Jawab Ragil yang terlihat sangat panik.
“Ya udah, hati-hati Gil.” Teriakku sembari terus memandangnya.
“Iya, kamu juga.” Jawab Ragil yang langasung meninggalkan aku dan Rangga.
“Kasian Ragil, dia pasti repot banget.” Ucapku sembari kembali duduk.
“Emang orang tuanya?” tanya Rangga sembari menoleh ke arahku.
“Jarang pulang, dia Cuma tinggal sama Adik, pembantu dan satpam rumahnya.” Jawabku merasa sedih.
“Kita do’ain aja adiknya gak pa-pa.” Ucap Rangga yang coba menenangkanku.
“Iya Ngga.”  Ucapku pelan.
“Gimana kalo aku yang anter kamu pulang?” tanya Rangga sembari menatapku.
“Naik sepedaku? Nanti kamu pulangnya gimana?” jawabku sedikit terkejut.
Aku dan Rangga beralan menuju tempat spedaku di parkirkan.
“Greet.” Bunyi pesan masuk di Handphoneku.
RAGIL
Rara adikku baik-baik aja dia Cuma luka ringan dan udah boleh di bawa pulang, kamu jangan khawatir. Maaf udah ninggalin kamu sendirian.
SAYA
Iya gak pa-pa kok Gil, yang penting adik kamu baik-baik aja.
“Ayo naik.” Ucap Rangga yang sudah mengendarai sepedaku (tepatnya sepada Kak Cahya).
“Iya.” Jawabku sedikit malu. Aku naik di belakang, berdiri dan berpegangan pada pundak Rangga.
Rangga mengayuh sepeda dengan kencang, dan terkadang aku harus memegang erat pundaknya agar tetap seimbang karena dia menghentikan sepeda secara iba-tiba. Aku tak pernah menyangka bahwa kami akan dekat secepat ini, aku di antar pulang oleh lelaki yang belum genap 2 hari aku kenal, tetapi sikapnya membuatku nyaman berada di dekatnya.
“Emang gak berat ya Ngga?” tanyaku merasa tidak enak karena dia harus memboncengku.
“Dikit.” Ucapnya sembari tersenyum.
Selam perjalanan, kami terus bercerita tentang hal-hal yang lucu dan tidak jarang kami tertawa.
***
“Gak mau masuk dulu?” tanyaku pada Rangga saat tiba di depan rumahku.
“Enggak usah Ra lain kali aja.” Jawabnya sembari mengotak-ngatik Handphonnya.
“Kalo gitu aku tungguin kamu di sini.” Ucapku sembari berdiri di sampingnya.
“Enggak usah, kamu masuk aja, bentar lagi aku di jemput.” Ucapnya sembari mengelus rambutku.
Waaaaaah apa ini? Keberuntungan.
“Beneran?” tanyaku agak sedikit malu.
“Iya.” Jawabnya sembari tersenyum.
“Ya udah kalo gitu aku masuk dulu.” Ucapku sembari menuntun sepedaku masuk dan tersenyum padanya. Dia masih tersenyum.
Tak lama dari itu aku melihat Rangga di jemput oleh seseorangg menggunakan sepeda motor dan  segera meninggalkan rumahku, aku menatapnya lekat-lekat, lelaki yang begitu dekat denganku hari ini, aku melihatnya hingga ia benar-benar menghilang dari hadapanku.

*Sakit Karena Arum*

Setelah kejadian di taman itu, hubunganku dengan Rangga semakin dekat kita sering pulang bersama. Tepat pada hari ini kami mengerjakan tugas kelompok di rumahku bersama Ragil dan Danang.
“Ra gimana jadi gak ke rumahmu?” tanya Ragil yang  berdiri tak jauh dariku.
“Jadi, tapi yang lain gimana?” jawabku dan kembali bertanya.
“Rangga sama Danang bisa kok, tapi kayaknya mereka lagi di kantin.” Ucap Ragil menjelaskan.
“Ya udah susulin yuk.” Jawabkuu sembari menarik tangan Ragil dan berjalan menuju kantin.
Aku berjalan dengan penuh antusias dan semangat, sangat senag karena bisa lebih dekat dengan Rangga sosok yang sangat aku cari selama ini, orang yang bisa membuatku tenang serta orang yang bisa membuatku tertawa setelah Ragil. Oh Tuhan aku begitu beruntung.
“Ra sini.” Teriak Rangga saat melihat aku dan Ragil berdiri di sudut kantin. Aku dan Ragil berjalan menghampirinya.
“Ra jadikan?” tanya Danang yang masih asyik dengan handphone di tangannya.
“Jadi, ayo.” Uacapku dengan penuh semangat.
Aku, Rangga, Ragil dan Danang segera berjalan menuju gerbang sekolah.

                                                            ***

Rangga dan Danang masih berada di halaman rumahku dan Ragil berjalan mengikutiku. Terlihat olehku Arum yang sudah duduk di ruang tamu dan asyik dengan handphonenya.
“Hai Kak Ragil.” Sapanya kepada Ragil. Ragil melambakan tangan dan tersenyum.
“Arum, apa kabar?” ucap Rangga sembari memasuki ruang tamu rumahku.
“Baik kak, kakak gimana?” jawab Arum dengan gaya kekanak-kanakannya.
“Ya seperti yang kamu liat, dan yang pasti tambah keren.” Jawab Rangga yang membanggakan diri. Arum tersenyum.
“Arum masuk dulu ya kak.” Ucapnya sembari berjalan manuju kamarnya.
“Ayo cepetan mulai aja.” Ucap Ragil yang sudah mengeluarkan buku dari tasnya. Aku, Rangga dan Danang juga menyiapkan buku kami.
“Sebentar ya, aku buatin minum dulu.” Ucapku sembari bergegas ke dapur.
“Iya Ra, haus bandel ni.” Celetuk Ragil sembari mengusap lehernya.
Aku membuat beberapa gelas minuman dan kembali ke ruang tamu, terlihat olehku hanya Ragil dan Danang yang duduk di sana. Kemana perginya Rangga? Hah masa dia pulang?
“Ini minumnya.” Ucapku sembari menaruhnya di meja dan melirik ke luar pintu.
“Kemana Rangga?” tanyaku pada Ragil yang sedang meneguk es jeruk buatanku. Ragil tidak menjawab hanya saja ia menunjuk-nunjuk arah pintu keluar.
“Ngapain?” tanyaku semakin penasaran. Ragil menggelengkan kepala.
Tanpa aba-aba aku langsung berjalan ke luar dan mencari sosok yang selama ini mengisi benak dan jiwa. Aku tengokkan kepalaku ke arah kanan dan kiri, ke setiap sudut halaman. Tapi tak ku temukan walaupun hanya bayangannya saja.
“Hahaha” terdengar tawa dari seseorang yang tak asing. Ku dekati surara itu. Perlahan suara itu semakin jelas di telingaku. Aku tenangkan hati dan ku tegapkan jalanku serta perlahan kedua tangan ini mengepal dengan sendirinya.
“Kamu cantik.” Terdengar suara yang seketika menghujam jantungku dan menghentikan langkahku serta membuat mata ini perih yang seakan-akan ingin memuntahkan lahar panas.
Nggak mungkin, tenang Rara itu nggak mngkin. Aku menarik nafas dan memberanikan diri untuk melangkah dan mendekati suara yang berada di balik pohon itu.
“Udah lama aku suka sama kamu Rum, waktu kita ketemu di toko buku, kamu mau kan jadi pacar aku?” ucap seseorang yang berada di balik pohon kepada gadis yang selama bertahun-tahun tinggal dan tumbuh bersamaku.
Pria yang aku sayangi mencintai seseorang yang juga aku sayangi, Arum, adikku sendiri.
“Iya, aku mau kak.” Jawab Arum dengan senyum manis di bibirnya.
Perlahan mata ini tak mampu lagi menahan gejolak yang terasa dalam hati, dan air mata luka ini megalir membasahi pipiku. Luka ini, di buat oleh 2 orang yang aku sayangi. Luka karena Arum. Arum kamu jahat.
Tiba-tiba tetesan air hujan turun membasahi kami yang berdiri di depan rumah, karena bingug mencari tempat berteduh pandangan Arum menemukan aku dan wajahku yang di laruti kebencian sedang berdiri menatapnya.
“Kak Rara.” Teriaknya sembari berlarike arahku. Aku berbalik dan berlari ke dalam rumah.
“Kenapa Ra?” tanya Danang yang bingung melihatku berlari sambil menangis.
“Enggak, mendingan kalian pulang aja, kita lanjutin lain waktu.” Jawabku sembari berlari menaiki tangga. Terdengar suara Arum yang terus memanggilku.

*Hari Baru*
Aku turun dari kamar dan bergegas berangkat ke sekolah. Aku harus ceria, lupakan, lupakan Rara kejadian kemarin.
“Selamat pagi Ayah, Bunda, Rara berangkat dulu.” Sapaku saat melihat kedua orang tuaku duduk di meja makan.
“Enggak sarapan dulu Ra?” tanya ayah kepadaku.
“Enggak yah, sarapan di sekolah aja.” Jawabku sembari terus berjalan ke arah pintu.
Terlihat Ragil yang sudah berada di depan rumahku dengan motor biru maticnya.
Let’s go.” Ucapku sembari duduk di belakang Ragil. Kami melaju ke sekolah.
Hari baru, semangat baru Rara. Harus bisa menembunyikan semua kesakitan ini. Ok?!
Di depan kelas aku melihat Anggun dan Randi yang sedang asyik mengobrol.
“Pagi Ran, ops ada pacarnya di sebelahnya.” Ucapku menggoda Anggun. Anggun ingin memberi tinjunya ke arahku namun segera di cegah Randi.
“Ran jarang-jarang lo Anggun bisa lebih dari 1 bulan, selamet ya.” Ucap ku sembari mjulurkan tanganku.
“Dari pada kamu gak pernah punya pacar.” Celetuk Anggun sembari menyingkirkan tanganku dan menarik Randi menjauh dariku.
Nyesek si emang, tapi biarin ajalah. Rara is stong girl.
Aku duduk di kursiku, dan sesekali menatap ke arah luar jendela. Memperhatikan sepasang burung yang hinggap di pohon, muncul rasa iri dalam hati ini.
“Braak.” Suara hentakan tangan tepat berada di mejaku. Anggun, iya dia yang melakukannya. Aku berdiri.
“Rara, kamu tau nggak kesalahan kamu?” tanyanya sembari menatap tajam ke arahku. Aku menggeleg.
“Kamu itu PHO, jangan pernah kamu deketin Randi lagi.” Ucapnya sembari mendorongku hingga terjatuh.
“Siapa si yang ganggu dia? Siapa?” bentakku sembari membersihkan kotoran di bajuku.
“Kamu!” ucapnya keras sembari menudingku.
“perempaun gak  tau malu, gak laku-laku jadi sukanya gangguin hubungan orang.” Lanjutnya sembari memandagku sinis. Tiba-tiba rasa nyeri menyebar ke seluruh  dadaku. Seburuk itukah aku?
“kamu itu di birin tapi tambah ngelunjak.” Ucapnya keras sehingga membuat semua sisiwa berkerumun di sekeliling kami.
“Aku fikir, kamu itu udah berubah Ra, tapi ternyata enggak. Kita udah kenal sejak lama tapi kamu gak pernah nganggep aku temen kamu, kamu cuma anggep aku sebagai saingan kamu. Aku udah bela-belain sekolah jauh waktu SMP berharap kalo kita udah SMA kamu bisa anggep aku jadi temen, tapi enggak Ra. kamu sama aja, egois. Enggak pernah bisa menerima kekalahan.” Ucapnaya sembari mengahapus air mata di pipinya.
Tubuhku lunglai, tak berdaya. Tubuh tanpa tulang. Aku kurag peka?! Selama ini dia ingin menjadi temanku? Tapi aku selalu menganggapnya sebagai musuh. Aku manusia macam apa? Kejam. Aku berlari meninggalkan kelas dengan semua luka ini.
Aku berhenti dan duduk. Tempat di mana aku dan Rangga duduk berdua untuk yang pertama kali.
“Rara, gawat.” Teriak Ragil yang berlari menghampiriku.
“Ada apa?” aku menatapnya bingung.
“Itu, itu.” Ucpnya terbata-bata.
“Itu apa?” tanyaku penasaran.
“Itu Rangga kecelakan di pengkolan deket sekolah, cepetan ayo kesana.” Uapnya terburu-buru. Aku segera berlari menuju tempat kejadian.
Masalah datang bertubi-tubi hari ini, Tuhan apa salahku? Aku membeci orang yang ingin berteman denganku, adikku mencintai orang yang aku sayangi, dan oang yang aku sayangi mengalami kecelakaan. Cobaan apa lagi ini?
Aku terjatuh, lemas, pusing. Terbaring sosok yang aku sayangi di depan mataku, tegulai lemas bersimba darah.
“Rangga, bangun, Rangga!” ucapku sembari menggolek-nggolekkan tubuhnya yang terlentang di aspal. Air mata ini bercucuran tak henti-henti, rasa takut akan kehilangan.
Surprice, selamat ulang tahun Rara.” Ucap Ragil dan teman-teman sekelasku, terlihat juga Anggun dan Arum berdiri di sana. Ranggapun bangun dan ikut tersenyum.
“Kalian?” ucapku sembari menghapus air mata yang sedari tadi membahasi pipiku dan tersenyum haru.
“Kakak, maafin aku ya.” Ucap Arum sembari memelukku.
“Makasih ya semuanya, dan Anggun aku minta maaf karena selama ini aku gak menyadari semua itu, maaf.” Ucapku*Bingkisan Salah Paham*
“Ini Ra, ada titipan dari Randi.” Ucap Nasya sembari memberikan sebuah bingkisan kepadaku.
Apa ini? Apa dia menyukaiku? Kenapa dia tidak memberikannya langsung?
“Oh, makasih ya.” Jawabku sembari menerima bingkisan berpita ungu yang cantik.
“Sebenernya Anggun atau Rara sih yang Randi suka? Tapi kayaknya Anggun deh tapi kenapa bingkisan itu di kasih ke Rara?” terdengar olehku gumaman Nasya yang berjalan menuju tempat duduknya.
Apa?! Anggun? Apa aku kalah lagi? Lalu apa bingkisan ini? Jangan-jangan Randi memberikan langsung kepada Anggun, kenapa Randi menitipkan ini? Dia kan bisa kasih ke aku langsung?
“Maaf Sya, tolong bilang ke Randi aku nggak bisa terima ini, kalo dia emang bener-bener mau ngasih, suruh dia kasih ke aku lansung.” Ucapku di depan meja Nasya dan meletakkan bingkisan itu di atas meja.
Sialan! Padahal aku menyuki bingkisan itu. Kenapa aku tidak mengintipnya? Tapi sudahlah, kali ini aku tidak mau kalah dari Anggun.
Anggun, seseorang yang selalu membuatku bersemangat untuk bersaing ( dalam segala hal) kami saling mengenal sejak duduk di bangku sekolah dasar kami memang terlihat seperti musuh, tetapi kami sangat saling mengenal satu sama lain.  Musuh?  Tapi kami sangat baik dalam mengenal pribadi masing-masing. Sahabat?  Aku rasa itu juga tidak.
Aku Rara, seseorang yang selalu ingin bersaing dengan Anggun, seseorang yang tidak ingin di kalahkan tetapi selalu tidak pernah menang, ya, inilah aku. Walaupun usiaku sudah hampir 16 tahun, satu kali pun aku belum pernah mengalahkan Anggun. Randi, teman satu angkatan ku tetapi berbeda kelas, sungguh malang karena dia telah menjadi incaran ku untuk bersaing dengan Anggun.
“Udah bel belum Ra?” tanya Ragil terengah-engah, lalu duduk di sebelahku.
“Udah, tapi kali ini kamu aman Gil kayaknya Pak Ridwan telat.” Jawabku sembari memukul pundak Ragil. Ragil hanya menghembuskan nafas lega.
Ragil, teman sebangku yang berparas indah dan cerdas, walupun ia cerdas ia selalu terlambat berangkat ke  sekolah, setiap hari alasannya selalu berbeda-beda, ya karena dia cerdas mungkin sudah lebih dari 100 alasan berbeda yang sudah ia buat selama belum genap 1 tahun kami berada di kelas X ini.
“Selamat Pagi Anak-anak.” suara lantang dan sesosok yang tegap dan menyeramkan berdiri di depan kami, memberi salam dan tidak lupa membawa setumpuk buku dan penggaris panjang berukuran 100 cm yang terbuat dari kayu. Pak Ridwan memasuki ruang kelas dan duduk di kursinnya.
“Selamat Pagi pak.” Jawabku dan teman-teman serentak.
Pak Ridwan,guru mata pelajaran Matematika yang lumayan di takuti oleh muruid-murid di kelasku. Beliau memiliki paras yang lumayan sangar, berkumis tipis dan rambut yang agak keriting ( nggak lurus ), matanya sipit dan hidung yang berukuran lebih besar dari hidung biasannya. Walaupun begitu beliau menjadi guru idaman di kalangan mbak-mbak kantin.
Setelah mendengarkan dan mengerjakan tugas dari Pak Ridwan aku dan Ragil asyik mengobrol tentang sesuatu hal yang tidak penting, tetapi itu suatu kebiasaan yang sangat mengasyikkan. Obrolan kami terus berlanjut hinngan bel istirahat berbunyi.
                                                                              ***
Seperti biasa, saat jam istirahat tiba aku lebih memilih duduk di bawah pohon yang tak jauh dari kelasku. Dari kursi itu aku bisa melihat banyak hal, seperti lapangan basket, perpustakaan, ruang guru dan deretan ruang kelas.
“Ra.” Terdenagar suara yang tak asing di belakangku.
Aku rasa dia Randi. Apa?! Dia benar-benar menemuiku?
“ini buat kamu, kenapa kamu balikin?” lanjutnya sembari duduk di sebelahku dan menyodorkan bingkisan itu di dekat tanganku.
“Tapi kayaknya kamu salah kasih deh, bukan aku yang kamu kasih.” Jawabku singkat tanpa memandangnya.
“Maksud kamu apa Ra?” tanya Randi bingung.
“Anggun.” Jawabku singkat.
“Anggun kenapa? Apa hubungannya sama dia?” tanya Randi makin bingung.
“Seisi sekolah juga tau kali kalo Anggun suka sama kamu.” Jawabku ketus.
“Terus? Apa hubungannya sama ini?” tanya Randi sembari menunjuk bingkisan yang masih di pegangnya.
“Gini lo Ran, temen-temen tau kalo Anggun suka sama kamu tapi mereka bingung sebenernya kamu suka sama Anggun apa enggak? Kalo kamu suka dia kenapa kamu kasih itu ke aku? Sebenernya yang kamu suka itu siapa?” jawabku dengan nada yang agak tinggi.
“Em, kayaknya kamu salah paham deh Ra.” Ucap Randi sembari tersenyum.
“Salah paham?” tanyaku bingung.
Aduh. Apa lagi coba? Di mana salah pahamnya? Apa dia suka sama Anggun? Kalo itu bener kekalahan akan segera menghampiriku.
“Ini ambil.” Ucap Randi sembari meletakkan bingkisan itu di tanganku. Aku masih terdiam bingung.
“ya, Anggun memang suka sama aku dan kayaknya aku juga suka sama dia. Tapi ini oleh-oleh dari papa aku, lagian semua anak musik juga dapet kok Ra. Maaf ya udah buat kamu salaah paham.” Lanjut Randi menjelaskan dan berjalan meninggalkanku dengan sedikit tawa di bibirnya.
Apa?aku pikir Randi menyukaiku dan aku bisa mengalahkan Anggun. Aduh muka ini mau di taro mana? Malunya bukan main.
“Kenapa Ra, kok cemberut gitu?” tanya Ragil yang berjalan ke arah ku. Aku hanya menggeleng pelan dan tertunduk.
“Oh, itu?” lanjutnya sembari memonyongkan bibir ke arah Randi yang berjalan menjauhi kami. Aku hanya menghela napas.
“Kenapa sih? kenapa? Ayo cerita.” Ucap Ragil penasaran.
“Ih, enggak lah Gil. Ayo masuk kelas udah mau bel nih.” Jawabku lalu berdiri dan beranjak pergi. Ragil mengikuti di belakangku dan sesekali menggodaku.
                                                                                 ***

*Lari...!!!*
Aku berjalan ke arah ruang musik.
“Ra, udah dateng?” tanya Kak Renata yang duduk di depan pianonya.
“Iya nih kak.” Jawabku singkat lalu membantingkan tubuhku di kursi.
“Ini kan masih jam istirahat,lagian kelas di mulainya masih 30 menit lagi.” Ucap Kak Renata yang berjalan ke arahku.
“Aku tau kok kak.” Jawabku singkat.
Kak Renata, guru musik di sekolahku. Wanita yang cantik dan anggun, bermata indah dan berambut panjang, dengan tinggi yang semampai dan tentu kulit yang bersih.
Di sekolahku setiap hari Selasa, Kamis, dan Sabtu selalu di adakan kelas pilihan setelah jam istirahat ke-2 atau setelah semua jam mata pelajaran berakhir. Dan aku mengikuti kelas musik.
“Kakak keluar dulu ya.” Ucap Kak Renata pelan dan berjalan ke arah pintu. Aku hanya mengangguk.
“Aissh, aku kenapa sih?” ucapku sembari mengacak-acak rambutku.
“memalukan.” Lanjutku dengan kaki yang ku hentak-hentakkan di lantai.
“haaaaaaaa.” Teriakku lalu menutupi wajah dengan ke dua telapak tanganku.
Aku menghela napas. Melangkah mendekati piano yang tak jauh dari hadapanku. Aku duduk perlahan, menggerakkan jari-jariku dengan lembut untuk menyentuh not-not piano itu, dan sesekali memejamkan mata.
“Ngga cepetan!” teriak seseorang di depan ruang musik yang membuyarkan konsetrasiku.
Aku memandang ke arah pintu, terlihat olehku seorang siswa laki-laki yang menggunakan kaos tim basket sekolahku berdiri di depan pintu, tetapi dia segera berlari ke lapangan menghampiri asal teriakan yang tadi aku dengar. Aku berlari keluar  untuk melihatnya, dia menoleh dan tersenyum.
“Kayaknya aku belum pernah liat dia.” Gumamku dalam hati sembari berjalan masuk mendekati piano.
“dia anak baru ya?” tanyaku pada dirisendiri.
ih apa’an sih Ra. Gitu aja kok di pikirin. ”  lanjutku sembari duduk di depan piano.
“Udah dateng Ra?” suara Randi yang mengagetkanku.
“Eh, iya Ran.” Jawabku sedikit gugup.
Kanapa ketemu dia disini? Hais. Malu.
“Aku mau ke kantin, mau apa?” tanyaku sembari mengambil uang di tasku. Sebenarnya untuk mengalihkan perhatian, supaya aku gak malu karena di kelas musik Cuma ber-2.
“Mau jus mangga Ra.” jawabnya sembari memberikan selembar uang 5000 -an.
Aku berjalan keluar ruang musik, terlihat olehku lapangan basket yang di kerumuni hampir seluruh siswa di sekolahku. Aku berjalan memutar walaupun terlalu jauh, itu lebih baik dari pada aku harus melewati kerumunan anak-anak di lapangan.
Terlihat olehku Anggun dan ke-2 sahabatnya, Putri dan Dewi asyik mengobrol di bangku kantin.
“Mbak jus mangganya 2 ya.” Ucapku kepada mbak kantin lalu duduk di bangku yang tak jauh dari Anggun dan ke-2 sahabatnya.
“Nggun kamu beruntung banget sih bisa jadian sama Randi, udah ganteng, keren dan anak musik lagi.” Ucap Dewi bersemangat.
“Hah, mereka udah jadian?? Aku benar-benar kalah.” Gumamku pelan.
“Mungkin, tapi ada anak baru yang lebih keren dan lebih pintar dari Randi.” Jawab Anggun pelan lalu meneguk jus yang di pegangnya.
“Oh emang iya Nggun??” tanya Putri penasaran.
“iya, ayo kita ke lapangan, katanya dia anak basket.” Jawabnya sembari beranjak dari duduknya.
Anak baru? Anak basket? Keren dan pintar? Apa anak yang aku liat di depan ruang musik tadi ya?? Ah sudahlah.
“Udah dari tadi Ra?” sapa Anggun dengan senyum kemenangan di bibirnya. Aku membalas senyumannya dengan terpaksa.
“Dik, jusnya udah jadi.” Teriak mbak kantin memanggilku.
“Iya mbak.” Jawabku tenang.
“Selamat atas hubungan kalian.” Ucapku sambil berlalu meninggalkan Anggun dan ke-2 temannya.
“Dasar sombong, tidak mau mengakui kekalahan. Sekarang kamu taukan siapa yang lebih unggul diantara kita.” Ucap Anggun sembari merapikan ranbutnya.
Hais,! Menyebalkan. Aku membawa 2 gelas jus menuju ruang musik dengan perasaan dongkol.
Seperti yang sudah aku ceritakan di awal, aku sangat  tidak suka dengannya. Kami selalu bersaing tetapi dia selalu beruntung. Saat kami lulus dari SD, aku merasa sangat senang karena aku segera berpisah dengan Anggun, terbukti kami tidak satu sekolah saat SMP. Setelah 3 tahun berpisah, kami di pertemukan kembali di sekolah ini. Dan aku harus kalah lagi untuk kesekian kalinya. Aku benar-benar membencinya dan semua kekalahan ini. Tapi aku akan mengalahkannya saat ujian akhir semester, aku akan menjadi juara umum untuk membalaskan kekalahan ini.
“Tenang Rara, Randi adalah kekalahan terakhirmu.” Gumamku menenagkan diri sembari terus berjalan.
“Braaaak.” Seseorang menabrakku dari depan, jus yang aku bawa jatuh dan membasahi bajuku dan baju orang yang menabrakku.
“Maaf, maaf, aku nggak sengaja.” Ucapnya sembari melihat kebelakang dengan tegang.
Terlihat olehku gerombolan siswi yang sangat fanatik berlari ke arah kami. Tanpa aba-aba aku lansung menarik tangan laki-laki itu dan berlari ke tempat yang aman, karena aku menyadari gerombolan anak-anak itu sedang mengejarnya.
Saat tiba di belakang ruang kebersihan yang sepi dan teduh akupun menghentikan langkahku dan mengatur napasku yang terengah-engah.
“Makasih.” Ucap anak laki-laki itu dengan nafas yang juga masih berantakan. Aku hanya mengangguk.
Setelah beberapa menit napas kami mulai teratur dan baru kami sadari ternyata tangan kami masih saling menggenggam erat.
“Maaf.” Ucapku sembari cepat-cepat melepaskan genggamanku.
“kamu anak baru ya?” lanjutku sembari berjalan ke arah bangku yang tak jauh dari tempat kami berdir.
“Iya.” Jawabnya sembari mengikuti di belakangku dan dudk tepat di sampingku.
Aku membersihkan baju dengan tanganku. Di memberikan sapu tangan bermotif kotak-kotak dan membantu membersihkan bajuku.
“Maaf ya, gara-gara aku baju kamu jadi basah dan kotor.” Ucapnya pelan. Aku hanya tersenyum.
“Kamu yang ada di ruang musik tadi ya?” tanyanya sembari terus mengelap bajuku.
“Oh...” teriakku terkejut menydari sesuatu.
Aku melihat arloji di tanganku, sayang nya aku melepasnya saat berada di ruang musik.
“Ada apa?” tanya lelaki itu bigung.
“Jam, jam mana jam?” jawabku sembari menarik pergelangan tangannya, terlihat olehku jarum jam sudah tepat di angka 2.
“Maaf ya, ku ada kelas musik hari ini dan aku udah telat banget.” Ucapku yang langsung berdiri dan berlari meninggalkannya.
                                                                              ***
“Maaf aku telat.” Ucapku sembari membuka pintu dengan napas yang terengah-engah.
“Dari mana Ra?” tanya Kak Renata.
“Maaf kak.” Jawabku singkat dan langsung duduk di kursiku.
“Ayo kita lanjutkan.” Ucap Kak Renata di depan kelas dan kembali menerangkan.
“Ra, mana jusnya?” bisik Randi yang duduk di sebelahku. Aku hanya tersenyum dan menggaruk-nggaruk kepala lalu memperhatikan penjelasan Kak Renata.
                                                                               ***

*Toko Buku*
Ku hempaskan tubuhku di tempat tidur, perasaan lega muncul dan semua rasa lelah musnah. Kelelahan dan kepenatan siang hari selalu menghampirku saat jam pulang sekolah, tetapi saat aku memasuki ruangan yang tidak terlalu besar dan sedikit gelap ini, semua rasa lelahku meleleh begitu saja seperti air sengai yang mengalir ke laut. Dan tidak jarang aku tertidur sebelum berganti pkaian (masih memakai seragam sekoah ), semua itu terjadi begitu saja.
Woy Ra, bangun.” Teriakkan yang tak  asing lagi menusuk lubang telingaku.
“Iya Cahya.” Jawabku kesal sembari berjalan ke arah kamar mandi. Kak Cahya hanya menggerutu dan menutup pintu kamarku dengan keras.
Ridho Cahyani, kakak lelakiku yang terpaut umur 2 tahun lebih tua denganku. Badan yang tinggi berambut hitam dan otot yang cukup kekar. Anak sulung yang masih manja, apalagi sekarang detik-detik menuju Ujian Nasiaonal SMA semua yang dia minta pasti akan di turuti oleh ayah.  Kak Cahya dan aku tidak bersekolah di sekolah yang sama, karena dia tidak mau aku sekolah di tempatnya bersekolah, aku tidak tau alasannya. Akhir-akhir ini dia terlihat sangat sibuk karena mempersiapkan Ujiannnya dan tentu saja ujian masuk perguruan tinggi. Aku dan Kak Cahya terhitung dekat, ya walupun kami sering bertengakar. Tapi menurutku pertengkaran itu yang membuat aku sering merindukannya, apa lagi saat dia sibuk seperti ini. Aku merasa sangat kesepian, dia tidak punya waktu untuk mendengarkan semua ceritaku.
***
Ku langkahkan kakiku menuju dapur. Terlihat olehku Arum yang sedang asyik menonton televisi dengan bunda. Aku mengambil buah apel dari kulkas dan mencucinya. Aku berjalan kembali ke kamar.
“Kak Rara udah bangun?” tanya Arum kepadaku saat ia menoleh ke belakang. Aku hanya mengangguk.
“Kak nanti setelah makan malam aku mau ke toko buku, mau ikut gak?” tanya Arum yang berjalan menghampiriku. Aku menggeleng dan melangkah pergi.
“Aku sama Kak Cahya juga.” Ucapnya menghentikan langkahku. Aku berbalik.
“O.K. aku ikut.” Jawabku tegas.
Sekar Arum, adik perempuanku yang masih kelas IX (3 SMP) yang lumayan tinggi (tapi masih tinggi aku) rambutnya panjang (tapi masih panjang aku) matanya agak besar dan hidungnya mancung (kalo hidung mancungan dia) dan kulitnya gak beda jauh sama aku, sama-sama sawo matang (tapi lebih sedikit putih aku). Dia lahir setelah aku berumur kurang lebih 1 tahun. Jujur, aku gak terlalu deket sama dia, walaupun kita sama-sama perempuan tapi aku agak sedikit kurang pas sama dia. Dia anak kesayangan bunda, maklum anak bungsu jadinya manja namanya juga anak mami. Aku gak pernah ajak dia ngomong, kami gak pernah ngobrol kalau bukan dia yang ngomong duluan.
“Jangan lupa ya Kak.” Ucapnya sembari kembali menonton televisi.
***
“Mana Rara? Kok gak ikut makan?” tanya aseorang lelaki paruh baya yang tengah makan di meja makan.
“Gak tau yah, nanti  juga kesini.” Jawab anak perempuan yang juga duduk di meja makan.
“Cepet panggil kakakmu, dia pasti belum makan dari pulang sekolah.” Ucap lelaki itu lagi.
“Iya yah.” Jawab anak perempuan itu, lalu bergegas pergi.
***
Terdengar suara Arum memanggil dari balik pintu kamarku.
“Iya.” Jawabku sedikit keras.
Aku keluar kamar dan berjalan menuju ruang makan. Terlihat olehku ayah, bunda, dan Kak Cahya sudah duduk di meja makan.
“Tidur Ra?” tanya ayah sembari menatap lurus bola mataku.
“Enggak kok yah.” Jawabku singkat sembari menuangkan nasi ke piringku.
“Makan yang banyak, kamu belum makan dari tadi.” ucap bunda yang meletakkan lauk dan sayur di piringku. Aku mengangguk.
Aku duduk di sebelah Kak Cahya, dan di depan Arum. Bunda duduk di sebelah Arum, dan ayah duduk tak jauh dari bunda. Aku melahap semua makanan di piringku (karena aku memang sangat lapar). Jam makan usai.
Aku duduk di sofa ruang tamu dan di sebelahku Kak Cahya yang serius dengan bukunya. Dari dalam terlihat ayah, bunda, dan Arum yang berjalan ke arah ku.
“Ayo berangkat.” Ucap ayah yang memukul pelan pundakku. Aku dan Kak Cahya berdiri.
***
“Ma, Rangga keluar sebentar ya.” Pamit anak laki-laki tu yang berjalan ke arah garasi.
“Iya, hati-hati. Jangan pulang terlalu malam.” Jawab wanita berumur 35 tahunan yang masih tidak beranjak dari duduknya.
Anak laki-laki itu meninggalkan rumahnya dengan mengendarai motor matic warna hitam miliknya menuju pusat pertokoan yang tak jauh dari rumahnya.
***
Ayah dan bunda menuggu kami di dalam mobil. Aku berada di deretan novel dan cerpen, sedangkan Kak Cahya tentu saja buku pelajaran, dan Arum ( entahlah aku tak bisa menebaknya ) aku melihatnya berdiri tak jauh dari tempat Kak Cahya berdiri. Setelah aku melihat ke sekeliling rak buku, ada satu buku yang menarik perhatianku. Saat aku ingin mengambilnya, ada orang lain yang juga ingin mengambilya.
“Maaf, saya sudah pegang duluan.” Ucapku sembari menarik buku itu.
“Kamu?” ucap orang itu yang ternyata laki-laki yang hari ini menabrakku di sekolah. Aku hanya atersenyum (sebenernya malu juga).
“o iya, kita belum kenalan, nama kamu siapa?” lanjutnya sembari mengulurkan tangannya.
“Rara.” Jawabku singkat dan menerima uluran tangannya.
“Aku Rangga. Kamu suka baca novel ya?” ucapnya memperkenalkan diri.
“Iya, tapi tergantung ceritanya juga sih. Ini bukunya, kamu aja yang ambil.” Jawabku sembari memberikan buku itu padanya.
“Gak usah, kamu aja yang ambil, aku bisa cari  lagi yang lain.” Jawabnya dengan senyum di bibirnya ( senyumnya gak nahan, manis banget ).
“Oke kalok gitu, aku yang ambil.” Jawbku pelan. Dia lagi-lagi tersenyum.
“Kak Rara, buku ini bagus gak?”  suara Arum yang tiba-tiba mengguncang telingaku, dia berjalan ke arahku dan memperlihatkan buku yang ada di tangannya.
“Ya aku gak tau lah, baca aja belom.” Jawabku sedikit kesal. Dia memasang wajah kecewa.
“Bagus kok, aku udah pernah baca. Baca deh pasti seru.” Ucap Rangga yang sedikit mengagetkanku. Aku dan Arum seketika menengok ke arahnya.
“Beneran kak?” tanya Arum penasaran.
“Iya beneran, aku ada buku itu di rumah.” Jawab Rangga meyakinkan.
“Ra, ini adik kamu?” tanya Rangga penasaran.
“He’em.” Jawabku singkat.
“Kakak temennya Kak Rara?” tanya Arum antusias.
“Iya, dia temen kakak. Udah sana cari buku yang lain.” Jawabku dengan nada yang agak tinggi.
“iya-iya.” Jawab Arum dengan muka yang gak woles.
 “kakak namanya siapa? Aku Arum.” Tanya Arum pada Rangga.
“Rangga.” Jawab Rangga singkat.
“Udah cepetan sana.” Ucapku pada pada Arum. Arum berjalan pergi dengan wajah kesal.
“Maaf ya Ngga, adik aku emang kaya gitu orangnya ngeselin.” Ucapku pada Rangga yang berdiri di sebelahku.
“Iya, gak pa-pa kok.” Jawabnya singkat dan kembali memilih-milih buku.
Aku dan Rangga berkeliling toko buku dan sesekali mengganggu satu sama lain.
Rangga, teman baruku. Seseorang yang menabrakku di sekolah siang tadi, berbadan tinggi agak berisi, berambut hitam lurus, ramah dan murah senyum, dan tentu saja berwajah rupawan. Anak basket dan kayaknya dia pinter. Matanya agak sipit dan hidung mancung. Kulitnya putih bersih.
“Ra pulang.” Teriak Kak Cahya dari kejauhan. Aku hanya menganguk.
“Ngga aku pulag duluan ya.” Ucapku lalu bergegas pergi.
“Hati-hati.” Jawab Rangga sedikit keras di belakangku. Aku menoleh dan tersenyum.
***
*Semanis Ice Cream*
Minggu pagi, aku mengayuh sepeda merah Kak Cahya menuju tempat yang sudah aku tentukan dengan Ragil, tepatnya di sebuah persimpangan yang lumayan jauh dari rumahku. Dengan rambut terikat, kaos putih, celana pink dan sepatu olahraga yang juga pink aku terus mengayuh sepeda dan menikmati angin segar di pagi hari. Banyak anak muda bahkan orang dewasa yang berolahraga di hari libur seperti ini, jarang aku lihat kendaraan bermotor yang  melintas, lebih banyak  sepeda dan pejalan kaki.
“Ra.” teriak Ragil yag sudah berada di persimpangan sembari melambaikan tangan ke arahku. Aku juaga melambakan tanganku.
“Gil, kita mau kemana?” tanyaku pada Ragil yang sudah berada di sebelahku dengan sepedah birunya.
“Udah jalan aja lah Ra, nanti kalo ada tempat bagus kita berhenti.” Jawabnya sembari membenarkan rambutnya.
“Ya udah, ayo.” Ucapku sembari memukul pundak Ragil.
Dengan kaos biru, celana hitam dan sepatu olahraga hitam, Ragil mengayuh sepedanya di sebelahku. Kami berjalan bersebelahan. Manikmati kebebasan di hari libur.
“Ra ceritain sih yang kemaren.” Ucap Ragil di sela-sela perjalanan kami.
“Kemaren yang mana?” tanyaku padanya karena bingung apa yang dia bicarakan.
“Itu loh, Randi.” Ucapnya singkat.
“Gak usah lah, males.” Jawabku sembari menjulurkan lidahku ke arahnya.
Ih Rara kok gitu sih.” ucapnya sedikit kesal.
“Biarin.” Jawabku santai.
“Gil.” Ucapku memanggil Ragil.
“Oy, kenapa?” jawabnya dengan muka yang masih serius menatap jalan.
“Gimana kalo kita ke taman kota aja?” tanyaku meminta pendapat.
“Weh, jauh banget itu Ra.” jawabnya seperti kurang setuju dengan saranku.
“Mungkin, tapi dari pada tanpa tujuan kaya gini.” Ucapku dengan nada pasrah.
“Iya juga ya.” Jawabnya sembari menganggukkan kepalanya.
“Eum, ya udah lah, kita ke sana aja.” Lanjutnya.
Wokeh. Siap?” tanyaku dengan semangat.
“Siaaap.” Jawab Ragil yang juga bersemangat.
Aku dan Ragil mengayuh sepedah kami lebih cepat, kami harus sudah sampai di taman kota sebelum jam 8 karena kami tidak mau sengatan matahari membakar  kulit kami. Sebuah perjalanan yang melelahkan.
“Ra istirahat dulu ya, capek nih.” Ucap Ragil setelah lebih dari 45 menit kami bersepeda.
“Iya, aku juga udah capek.” Jawabku dengan nada yang mulai lemas.
“Tapi kok nanggung ya Ra? kan tinggal dikit lagi nyampe.” Ucapnya sembari menoleh ke arahku.
“Ya udah, kita berhenti di minimarket deket tanam kota aja sekalian beli minum.” Jawabku dengan nafas yang mulai berat.
“Ide bagus, haus bandel nih tenggorokanku.” Uacap Ragil yang meraba lehernya. Kami terus mengayuh sepedah, walau sudah semakin berat.
“Akhirnya berhenti juga.” Uacap Ragil lega saat kami tiba di depan minimarket. Aku dan Ragil berjalan memasuki minimarket itu.
Aku dan Ragil mengambil 2 botol air mineral dan beberapa cemilan.
“Gil mau ice cream gak?” tanyaku saat melihat ice cream di dekat kami berdiri.
“Boleh, kayaknya enak.” Jawabnya sembari mengambil 2 ice cream untuk kami.
Setelah membayar semuanya, aku dan Ragil kembali meanjutkan perjalanan (padahal udah sampe, cuma tinggal nyebrang aja). Kami berhenti di bangku taman yang teduh di bawah pohon yang lumayan besar.
“Segeer.” Ucap Ragil setelah meneguk air mineral yang ia pegang.
“Capek ya Gil.” Ucapku sembari meluruskan kakiku.
“Iya Ra, tapi seru.” Jawab Ragil sembari memberikan ice cream kepadaku.
“Gil udah tau belum anak baru di sekolah kita?” tanyaku sembari membuka ice creamku.
“Iya, tapi belum liat langsung. Kenapa?” jawab Ragil sembari memakan ice creamnya.
“Manis banget.” Ucapku sembari membayangkan senyumannya.
“Iya lah namanya juga ice cream, gimana sih Ra.” ucap Ragil santai.
“Heeh. Bukan itu maksudku Gil.” Ucapku sembari menggaruk kapalaku.
“Terus apa?” tanya Ragil yang masih sibuk dengan ice creamnya.
“Rara.”  Teriak anak lelaki yang brdiri jauh di depan kami sembari melambaikan tangan. Aku melambaikan tanganku sembai tersenyum.
“Siapa itu Ra?” tanya Ragil bingung.
“Itu anak barunya.” Jawabku santai.
“Keren Ra. Lho dia kok tau nama kamu?” tanya Ragil yang semakin penasaran. Aku hanya tersenyum.
“Jangan-jangan yang manis tadi anak baru itu, iya kan Ra?” lanjutnya sembari mencubit pinggangku. Aku masih hanya tersenyum.
“Ciee Rara, gak bilang dari tadi.” Uapnya mengodaku. Rangga berjalan ke arah kami.
“Ya kan kamu yang gak nyambung tadi, ih udah lah Gil gak usah ngeledek.” Jawabku malu-malu.
“Ciee cieee.” Ucap Ragil yang masih menggodaku.
“Hai Ra kita ketemu lagi.” Ucap Rangga saat berada tepat di depanku.
“Iya nih, kita jadi sering ketemu.” Jawabku sembari tersenyum.
“Jodoh kali.” Celetus Ragil sembari terus asyik dengan ice creamnya.
“Aduh maaf ya Ngaa temen aku emang orangnya ceplas-ceplos.” Ucapku sembari mencubit kesal Ragil karena membuatku malu.
“Iya gak pa-pa, malahan dia lucu.” Jawab Rangga sembari tersenyum. Ragil menjulurkan lidahnya kepadaku dan tersenyum pada Rangga.
“Kenalin ini temen sekelas aku dan temen sebangku aku, namanya Ragil.” Ucapku memperkenalkan Ragil.
“Aku Rangga.” Ucap Rangga sembari tersenyum pada Ragil dan duduk di sebelahku.
“Kamu sama siapa ke sini?” tanyaku pada Rangga sembari melihat tempat Rangga berdiri sebelumnya.
“Sendiri.” Jawabnya singkat. Aku hanya mengangguk.
“Ra aku mau foto-foto di sana dulu ya.” Ucap Ragil sembari menunjuk tempat yang agak jauh dari tempat kami duduk. Aku menggeleng pelan.
“Aku tinggal ya Ngga.” Lanjutnya sembari benar-benar pergi.
Wah Ragil emang sengaja nih, dasar temen apa’an ninggalin temennya sendirian begini. Bisa mati kutu aku di sini.
“Iya.” Jawab Rangga pelan. Aku hanya terdiam.
Suasana hening sejenak, tak ada percakapan di antara kami. Angin ertiup pelan.
“Rumah kamu deket sini Ra?” tanya Rangga yang membuka percakapan kami.
“Enggak, mungkin 5 kilometer dari sini.” Jawabku sedikit grogi.
“Lumayan jauh juga, naik apa ke sini?” tanya Rangga penasaran.
Tuh.” Sembari menunjuk dua sepeda yang terparkir agak jauh dari tempat kami duduk.
“Naik sepeda?” tanya Rangga sembari tersenyum.
“Iya, pegel banget.” Jawabku sebari menoleh ke arahnya.
“Rumah kamu?” tanyaku sedikit penasaran.
“Deket dari sini, jalan aja sampe.” Jawabnya santai.
“Oh pantesan.” Ucapku pelan.
“Pantesan apa?” tanya Rangga yang mendegar ucapanku.
“Eum enggak.” Jawabku sembari tersenyum ke arahnya. Rangga juga tersenyum.
“Ra aku cabut dulu ya.” Ucap Ragil yang berlari ke arah sepedanya.
“Kenapa? Akunya gimana?” tanyaku yang ikut panik.
“Adik aku jatuh dari tangga dan di bawa ke rumah sakit deket sini, terus mama sama papa aku belum pulang cuma ada satpam rumah aku yang di sana.” Jawab Ragil yang terlihat sangat panik.
“Ya udah, hati-hati Gil.” Teriakku sembari terus memandangnya.
“Iya, kamu juga.” Jawab Ragil yang langasung meninggalkan aku dan Rangga.
“Kasian Ragil, dia pasti repot banget.” Ucapku sembari kembali duduk.
“Emang orang tuanya?” tanya Rangga sembari menoleh ke arahku.
“Jarang pulang, dia Cuma tinggal sama Adik, pembantu dan satpam rumahnya.” Jawabku merasa sedih.
“Kita do’ain aja adiknya gak pa-pa.” Ucap Rangga yang coba menenangkanku.
“Iya Ngga.”  Ucapku pelan.
“Gimana kalo aku yang anter kamu pulang?” tanya Rangga sembari menatapku.
“Naik sepedaku? Nanti kamu pulangnya gimana?” jawabku sedikit terkejut.
Aku dan Rangga beralan menuju tempat spedaku di parkirkan.
“Greet.” Bunyi pesan masuk di Handphoneku.
RAGIL
Rara adikku baik-baik aja dia Cuma luka ringan dan udah boleh di bawa pulang, kamu jangan khawatir. Maaf udah ninggalin kamu sendirian.
SAYA
Iya gak pa-pa kok Gil, yang penting adik kamu baik-baik aja.
“Ayo naik.” Ucap Rangga yang sudah mengendarai sepedaku (tepatnya sepada Kak Cahya).
“Iya.” Jawabku sedikit malu. Aku naik di belakang, berdiri dan berpegangan pada pundak Rangga.
Rangga mengayuh sepeda dengan kencang, dan terkadang aku harus memegang erat pundaknya agar tetap seimbang karena dia menghentikan sepeda secara iba-tiba. Aku tak pernah menyangka bahwa kami akan dekat secepat ini, aku di antar pulang oleh lelaki yang belum genap 2 hari aku kenal, tetapi sikapnya membuatku nyaman berada di dekatnya.
“Emang gak berat ya Ngga?” tanyaku merasa tidak enak karena dia harus memboncengku.
“Dikit.” Ucapnya sembari tersenyum.
Selam perjalanan, kami terus bercerita tentang hal-hal yang lucu dan tidak jarang kami tertawa.
***
“Gak mau masuk dulu?” tanyaku pada Rangga saat tiba di depan rumahku.
“Enggak usah Ra lain kali aja.” Jawabnya sembari mengotak-ngatik Handphonnya.
“Kalo gitu aku tungguin kamu di sini.” Ucapku sembari berdiri di sampingnya.
“Enggak usah, kamu masuk aja, bentar lagi aku di jemput.” Ucapnya sembari mengelus rambutku.
Waaaaaah apa ini? Keberuntungan.
“Beneran?” tanyaku agak sedikit malu.
“Iya.” Jawabnya sembari tersenyum.
“Ya udah kalo gitu aku masuk dulu.” Ucapku sembari menuntun sepedaku masuk dan tersenyum padanya. Dia masih tersenyum.
Tak lama dari itu aku melihat Rangga di jemput oleh seseorangg menggunakan sepeda motor dan  segera meninggalkan rumahku, aku menatapnya lekat-lekat, lelaki yang begitu dekat denganku hari ini, aku melihatnya hingga ia benar-benar menghilang dari hadapanku.

*Sakit Karena Arum*

Setelah kejadian di taman itu, hubunganku dengan Rangga semakin dekat kita sering pulang bersama. Tepat pada hari ini kami mengerjakan tugas kelompok di rumahku bersama Ragil dan Danang.
“Ra gimana jadi gak ke rumahmu?” tanya Ragil yang  berdiri tak jauh dariku.
“Jadi, tapi yang lain gimana?” jawabku dan kembali bertanya.
“Rangga sama Danang bisa kok, tapi kayaknya mereka lagi di kantin.” Ucap Ragil menjelaskan.
“Ya udah susulin yuk.” Jawabkuu sembari menarik tangan Ragil dan berjalan menuju kantin.
Aku berjalan dengan penuh antusias dan semangat, sangat senag karena bisa lebih dekat dengan Rangga sosok yang sangat aku cari selama ini, orang yang bisa membuatku tenang serta orang yang bisa membuatku tertawa setelah Ragil. Oh Tuhan aku begitu beruntung.
“Ra sini.” Teriak Rangga saat melihat aku dan Ragil berdiri di sudut kantin. Aku dan Ragil berjalan menghampirinya.
“Ra jadikan?” tanya Danang yang masih asyik dengan handphone di tangannya.
“Jadi, ayo.” Uacapku dengan penuh semangat.
Aku, Rangga, Ragil dan Danang segera berjalan menuju gerbang sekolah.

                                                            ***

Rangga dan Danang masih berada di halaman rumahku dan Ragil berjalan mengikutiku. Terlihat olehku Arum yang sudah duduk di ruang tamu dan asyik dengan handphonenya.
“Hai Kak Ragil.” Sapanya kepada Ragil. Ragil melambakan tangan dan tersenyum.
“Arum, apa kabar?” ucap Rangga sembari memasuki ruang tamu rumahku.
“Baik kak, kakak gimana?” jawab Arum dengan gaya kekanak-kanakannya.
“Ya seperti yang kamu liat, dan yang pasti tambah keren.” Jawab Rangga yang membanggakan diri. Arum tersenyum.
“Arum masuk dulu ya kak.” Ucapnya sembari berjalan manuju kamarnya.
“Ayo cepetan mulai aja.” Ucap Ragil yang sudah mengeluarkan buku dari tasnya. Aku, Rangga dan Danang juga menyiapkan buku kami.
“Sebentar ya, aku buatin minum dulu.” Ucapku sembari bergegas ke dapur.
“Iya Ra, haus bandel ni.” Celetuk Ragil sembari mengusap lehernya.
Aku membuat beberapa gelas minuman dan kembali ke ruang tamu, terlihat olehku hanya Ragil dan Danang yang duduk di sana. Kemana perginya Rangga? Hah masa dia pulang?
“Ini minumnya.” Ucapku sembari menaruhnya di meja dan melirik ke luar pintu.
“Kemana Rangga?” tanyaku pada Ragil yang sedang meneguk es jeruk buatanku. Ragil tidak menjawab hanya saja ia menunjuk-nunjuk arah pintu keluar.
“Ngapain?” tanyaku semakin penasaran. Ragil menggelengkan kepala.
Tanpa aba-aba aku langsung berjalan ke luar dan mencari sosok yang selama ini mengisi benak dan jiwa. Aku tengokkan kepalaku ke arah kanan dan kiri, ke setiap sudut halaman. Tapi tak ku temukan walaupun hanya bayangannya saja.
“Hahaha” terdengar tawa dari seseorang yang tak asing. Ku dekati surara itu. Perlahan suara itu semakin jelas di telingaku. Aku tenangkan hati dan ku tegapkan jalanku serta perlahan kedua tangan ini mengepal dengan sendirinya.
“Kamu cantik.” Terdengar suara yang seketika menghujam jantungku dan menghentikan langkahku serta membuat mata ini perih yang seakan-akan ingin memuntahkan lahar panas.
Nggak mungkin, tenang Rara itu nggak mngkin. Aku menarik nafas dan memberanikan diri untuk melangkah dan mendekati suara yang berada di balik pohon itu.
“Udah lama aku suka sama kamu Rum, waktu kita ketemu di toko buku, kamu mau kan jadi pacar aku?” ucap seseorang yang berada di balik pohon kepada gadis yang selama bertahun-tahun tinggal dan tumbuh bersamaku.
Pria yang aku sayangi mencintai seseorang yang juga aku sayangi, Arum, adikku sendiri.
“Iya, aku mau kak.” Jawab Arum dengan senyum manis di bibirnya.
Perlahan mata ini tak mampu lagi menahan gejolak yang terasa dalam hati, dan air mata luka ini megalir membasahi pipiku. Luka ini, di buat oleh 2 orang yang aku sayangi. Luka karena Arum. Arum kamu jahat.
Tiba-tiba tetesan air hujan turun membasahi kami yang berdiri di depan rumah, karena bingug mencari tempat berteduh pandangan Arum menemukan aku dan wajahku yang di laruti kebencian sedang berdiri menatapnya.
“Kak Rara.” Teriaknya sembari berlarike arahku. Aku berbalik dan berlari ke dalam rumah.
“Kenapa Ra?” tanya Danang yang bingung melihatku berlari sambil menangis.
“Enggak, mendingan kalian pulang aja, kita lanjutin lain waktu.” Jawabku sembari berlari menaiki tangga. Terdengar suara Arum yang terus memanggilku.

*Hari Baru*
Aku turun dari kamar dan bergegas berangkat ke sekolah. Aku harus ceria, lupakan, lupakan Rara kejadian kemarin.
“Selamat pagi Ayah, Bunda, Rara berangkat dulu.” Sapaku saat melihat kedua orang tuaku duduk di meja makan.
“Enggak sarapan dulu Ra?” tanya ayah kepadaku.
“Enggak yah, sarapan di sekolah aja.” Jawabku sembari terus berjalan ke arah pintu.
Terlihat Ragil yang sudah berada di depan rumahku dengan motor biru maticnya.
Let’s go.” Ucapku sembari duduk di belakang Ragil. Kami melaju ke sekolah.
Hari baru, semangat baru Rara. Harus bisa menembunyikan semua kesakitan ini. Ok?!
Di depan kelas aku melihat Anggun dan Randi yang sedang asyik mengobrol.
“Pagi Ran, ops ada pacarnya di sebelahnya.” Ucapku menggoda Anggun. Anggun ingin memberi tinjunya ke arahku namun segera di cegah Randi.
“Ran jarang-jarang lo Anggun bisa lebih dari 1 bulan, selamet ya.” Ucap ku sembari mjulurkan tanganku.
“Dari pada kamu gak pernah punya pacar.” Celetuk Anggun sembari menyingkirkan tanganku dan menarik Randi menjauh dariku.
Nyesek si emang, tapi biarin ajalah. Rara is stong girl.
Aku duduk di kursiku, dan sesekali menatap ke arah luar jendela. Memperhatikan sepasang burung yang hinggap di pohon, muncul rasa iri dalam hati ini.
“Braak.” Suara hentakan tangan tepat berada di mejaku. Anggun, iya dia yang melakukannya. Aku berdiri.
“Rara, kamu tau nggak kesalahan kamu?” tanyanya sembari menatap tajam ke arahku. Aku menggeleg.
“Kamu itu PHO, jangan pernah kamu deketin Randi lagi.” Ucapnya sembari mendorongku hingga terjatuh.
“Siapa si yang ganggu dia? Siapa?” bentakku sembari membersihkan kotoran di bajuku.
“Kamu!” ucapnya keras sembari menudingku.
“perempaun gak  tau malu, gak laku-laku jadi sukanya gangguin hubungan orang.” Lanjutnya sembari memandagku sinis. Tiba-tiba rasa nyeri menyebar ke seluruh  dadaku. Seburuk itukah aku?
“kamu itu di birin tapi tambah ngelunjak.” Ucapnya keras sehingga membuat semua sisiwa berkerumun di sekeliling kami.
“Aku fikir, kamu itu udah berubah Ra, tapi ternyata enggak. Kita udah kenal sejak lama tapi kamu gak pernah nganggep aku temen kamu, kamu cuma anggep aku sebagai saingan kamu. Aku udah bela-belain sekolah jauh waktu SMP berharap kalo kita udah SMA kamu bisa anggep aku jadi temen, tapi enggak Ra. kamu sama aja, egois. Enggak pernah bisa menerima kekalahan.” Ucapnaya sembari mengahapus air mata di pipinya.
Tubuhku lunglai, tak berdaya. Tubuh tanpa tulang. Aku kurag peka?! Selama ini dia ingin menjadi temanku? Tapi aku selalu menganggapnya sebagai musuh. Aku manusia macam apa? Kejam. Aku berlari meninggalkan kelas dengan semua luka ini.
Aku berhenti dan duduk. Tempat di mana aku dan Rangga duduk berdua untuk yang pertama kali.
“Rara, gawat.” Teriak Ragil yang berlari menghampiriku.
“Ada apa?” aku menatapnya bingung.
“Itu, itu.” Ucpnya terbata-bata.
“Itu apa?” tanyaku penasaran.
“Itu Rangga kecelakan di pengkolan deket sekolah, cepetan ayo kesana.” Uapnya terburu-buru. Aku segera berlari menuju tempat kejadian.
Masalah datang bertubi-tubi hari ini, Tuhan apa salahku? Aku membeci orang yang ingin berteman denganku, adikku mencintai orang yang aku sayangi, dan oang yang aku sayangi mengalami kecelakaan. Cobaan apa lagi ini?
Aku terjatuh, lemas, pusing. Terbaring sosok yang aku sayangi di depan mataku, tegulai lemas bersimba darah.
“Rangga, bangun, Rangga!” ucapku sembari menggolek-nggolekkan tubuhnya yang terlentang di aspal. Air mata ini bercucuran tak henti-henti, rasa takut akan kehilangan.
Surprice, selamat ulang tahun Rara.” Ucap Ragil dan teman-teman sekelasku, terlihat juga Anggun dan Arum berdiri di sana. Ranggapun bangun dan ikut tersenyum.
“Kalian?” ucapku sembari menghapus air mata yang sedari tadi membahasi pipiku dan tersenyum haru.
“Kakak, maafin aku ya.” Ucap Arum sembari memelukku.
“Makasih ya semuanya, dan Anggun aku minta maaf karena selama ini aku gak menyadari semua itu, maaf.” Ucapku sembari memeluk Anggun dengan erat. Dan tak lupa aku memeluk sahabat terbaikku Ragil, pasti dia yang berada di balik semua in.
“Makasih Gil, aku gak bakal lupa hadiah ini.” Bisikku di dekat telingannya.
“Rara, aku juga minta maaf.” Ucap Rangga yang berdiri di sebelahku, aku menatap wajahnya.
“Biarin semua orang di sini jadi saksi, kamu mau nggak jadi bintang yang selalu bersinar di sebelahku? Gak peduli itu siang atau malam, cerah atau mendung.” Ucapnya sembari menatap lembut kedua mataku.
“Aku gak mau.” Ucapku datar.
“aku gak mau jadi bintang, karena ada banyak bintang di dunia ini yang bisa terbit di sebelahmu. Yang aku mau aku jadi matahari, karena hanya 1 matahari yang bersinar di dunia ini.” Lanjutku sembari tersenyum. Tiba-tiba Rangga memelukku, terdengar suara sorakan dari teman-teman sekelasku.
Terimakasih Tuhan, begitu berharga karuniamu di usiaku yang ke 16 tahun ini. Engkau kirimkan sahabat-sahabat yang baik dan juga seseorang yang akan mengisi hari-hari bersamaku, Rangga seseorang yang telah mengisi hati.
 sembari memeluk Anggun dengan erat. Dan tak lupa aku memeluk sahabat terbaikku Ragil, pasti dia yang berada di balik semua in.
“Makasih Gil, aku gak bakal lupa hadiah ini.” Bisikku di dekat telingannya.
“Rara, aku juga minta maaf.” Ucap Rangga yang berdiri di sebelahku, aku menatap wajahnya.
“Biarin semua orang di sini jadi saksi, kamu mau nggak jadi bintang yang selalu bersinar di sebelahku? Gak peduli itu siang atau malam, cerah atau mendung.” Ucapnya sembari menatap lembut kedua mataku.
“Aku gak mau.” Ucapku datar.
“aku gak mau jadi bintang, karena ada banyak bintang di dunia ini yang bisa terbit di sebelahmu. Yang aku mau aku jadi matahari, karena hanya 1 matahari yang bersinar di dunia ini.” Lanjutku sembari tersenyum. Tiba-tiba Rangga memelukku, terdengar suara sorakan dari teman-teman sekelasku.
Terimakasih Tuhan, begitu berharga karuniamu di usiaku yang ke 16 tahun ini. Engkau kirimkan sahabat-sahabat yang baik dan juga seseorang yang akan mengisi hari-hari bersamaku, Rangga seseorang yang telah mengisi hati.



                                                                                                                                 Rts22

Komentar