Kau Sebut Namaku dalam Doamu

"Assalamu'alaikum." sapa seorang ikhwan dibazar buku seusai seminar bedah buku sore itu. "Waalaikumussalam, ada yang bisa saya bantu?" jawabku bingung melihat sesosok ikhwan yang tak ku kenal disebelahku itu. "Asma?" tanya seseorang itu meyakinkan. "Iya, maaf akhi siapa ya? Wajahnya makin cerah karena basuhan air wudhu jadi ndak ingat, hehe." ucapku dengan sedikit bergurau. "Ini aku Saif." jawabnya sambil tersenyum. Aku masih mengingat-ingat nama itu. "Alumni MAN 2 Solo kan?" tanya dia meyakinkan lagi. "Oh, Saif yang duduk di depan meja guru ya? Afwan akhi karena lupa sama temen sekelas sendiri." jawabku terkejut dan merasa bersalah. "Ndak papa, wajarlah kan sudah hampir 4 tahun ndak ketemu." Saif menjawab kemudian tersenyum.

"Gimana kuliahnya akhi?" tanyaku sekedar menanyakan keadaannya. "Alhamdulillah, tinggal berangkat ke Kalimantan dan menunggu panggilan untuk kuliah lagi. Kalau Asma sendiri?" jawabnya sembari tersenyum. "Alhamdulillah sudah selesai, tinggal melanjutkan S2. Kalu boleh tahu akhi dulu kuliah dimana? Tanyaku yang agak mulai penasaran. "Aku di IPB, Asma di UNS ya?" jawabnya singkat dan diikuti senyuman. "Iya, kok akhi tau?" tanyaku penasaran. Dia hanya tersenyum

"Bagaimana kabar Ridwan?" tanya Saif tiba-tiba. "Alhamdulillah dia juga sudah selesai dan sedang mengajukan beasiswa S2." jawabku menjelaskan. "Sudah hampir tujuh tahun ya kalian bersama-sama?" ucap Saif sembari memilih-milih buku di depan kami. "Namanya juga teman akh, apalagi satu Madrasah dan satu Universitas jadi ya keliatan sama-sama terus." jawabku kemudian tersenyum. "Bukan nya anti ada hubungan dengan Ridwan?" tanya Saif bingung. "Hubungan nya ya teman." jawabku singkat dan lagi-lagi tersenyum. "Maaf ya, tapi waktu di Madrasah bukankah kalian lebih sekedar dari teman?" tanyamu yang semakin bingung. Aku tersenyum. "Pacaran?" lanjut ku. Saif mengangguk. "Hehe, akhi salah paham saja kami hanya berteman selama ini. Saya ndak pernah pacaran sama siapapun." ucapku menjelaskan dan kemudian tersenyum. "Alhamdulillah." gumam Saif yang sedikit terdengar samar. "Kalau begitu apa Asma bersedia menyempurnakan separuh agamamu bersamaku?" ucap Saif dengan nada serius dan sedikit membuat jantungku berhenti berdetak karena terkejut. Aku tersenyum. "Asma kenapa tersenyum? Aku serius." ucap Saif meyakinkan. "Silahkan datang ke rumah Asma saja akhi, atau boleh datang dua tahun kedepan." jawabku kemudian tersenyum. Saif mengerutkan dahi. "Lusa Asma berangkat ke Cordoba untuk melanjutkan S2 ." jawabku menjelaskan. Saif mengangguk. "Kalau besok aku kerumah mu untuk bertemu ibu bapak boleh?" tanya Saif dengan senyuman yg terangkat gagah. "Boleh akhi, silahkan." jawabku kemudian tersenyum. Aku berpamitan karena hari semakin petang. Hari yang tak pernah ku sangka-sangka. Menyempurnakan separuh agama. Hal yang belum ku pikirkan sebelumnya. Aku kembali tersenyum saat meninggalkan bazar buku itu.

Ba'da zuhur siang itu satu hari sebelum aku menginjakkan kakiku di negara dengan sebutan "City Of Light" itu, Saif, seorang ikhwan yang menemui ku kemarin di bazar buku datang kerumah bersama dengn kedua orang tuanya. Ibu, bapak, dan kedua adikku menyambut keluarga nya dengan hangat. Kamipun berbagi informasi dan saling bercerita tentang kehidupan keluarga kami masing-masing. Setelah obrolan siang itu, yang aku tahu bapak menyetujui kami menikah sepulang aku menyelesaikan studyku di Cordoba. Selagi menungguku ternyata Saif sudah diterima di salah satu perusahaan minyak di Kalimantan sembari menunggu panggilan S2 ke negeri matahari terbit.

Siang itu pula, aku menyadari betapa besarnya keajaiban doa. Dari mulutnya aku mendengar kisah dirinya yang menahan diri untuk mendekatiku sejak dari kami duduk di bangku Madrasah. Satu kalimat yang masih teringat jelas diotakku "Alangkah baiknya aku menyebut namanya dalam setiap doaku agar kami dipertemukan kembali dan mendapat ridho-Nya." kata-kata yang saat itu mampu membuat seorang laki-laki menahan hawa nafsunya terhadap wanita yang ia sukai dan cintai.

Dua tahun berlalu, ku injakkan lagi kaki di tanah kelahiranku. Kebahagiaan dan kerinduan terhadap keluarga bercampur aduk menjadi satu. Tiba-tiba teringat wajah Saif yang akan segera mengambil alih tanggung jawab bapak. Aku tersenyum. Diluar bandara, Bapak dan Aisyah sudah menungguku.

Malam ini, hari-hari yang tak pernah kubayangkan sebelumnya. Ritual yang hampir semua keluarga yang memiliki anak gadis yang hendak di persunting dilakukan dirumahnya. Begitupun dirumahku malam ini.

Tak kusangka, 2 hari setelah lamaran begitu cepat berlalu. Aku menangis di pelukan ibu. Meminta ridho nya dan meminta maaf karena aku sadar belum ada yang bisa kuberikan untuknya. "Ibu, bentar lagi Asma akan jadi seorang istri, semoga Asma bisa menjadi istri dan ibu yang baik seperti ibu ya." ucapku dengan haru sembari menahan tangis dan kemudian memeluk erat ibu. Ibu hanya tersenyum dan sesekali mengusap punggungku. "Ibu maafin Asma ya bu." aku lagi-lagi menangis. Kudengar isakan tangis ibuku kemudian ia menyekanya dan kembali tersenyum. kulihat wajah malaikat itu didepanku, beberapa jam aku akan segera menjadi seprertinya, tapi apa aku bisa seperti ibuku? Itu yang selalu kupertanyakan pada diri sendiri. Terlihat olehku Aisyah dan Fatimah menangis bahagia di kursi sebelah bapak duduk, bapak tersenyum dengan bahagia, tapi aku tahu didalam hatinya terdapt keperihan karena melepaskan anak perempuannya, menyerahkan anak perempuan nya kepada laki-laki yang baru saja datang dikehidupannya, menyerahkan tanggung jawabnya kepada laki-laki yang baru dikenalnya. Aku tahu, perasaan bapak saat ini, perasaan tak rela dan takut karena anak gadisnya direbut oleh laki-laki lain. Kulangkahkan kakiku menuju cinta pertamaku itu, ku berlutut dihadapannya, ku letakkan wajahku dilututnya "Pak, maaf Asma pernah membiarkan bapak berjalan ke neraka. Bapak, makasih sudah menjadi cinta pertama Asma yang sangat berharga. Bapak, Asma sayang bapak." aku lagi-lagi menangis. Bapak juga ikut menangis karena tak bisa membendung kesedihan karena melepaskan aku. Bapak memelukku, mengangkat wajahku, "Jadi istri yang baik ya nak." ucapnya dengan nada bergetar kemudian tersenyum dan mengecup kening ku. Aku tersenyum dan kembali memeluknya.

Beberapa detik yang lalu, aku mendangar kata 'sah' dan kini air mataku kembali berjatuhan. Kini aku bukan hanya anak ibu dan bapakku tapi tapi ibu dan bapak Saif juga, dan aku juga akan menjadi seperti mereka. Kucium tangan ibuku dan ibu mertuaku kemudian kupeluk Aisyah dan Fatimah. Maha besar Allah dengan segala kebesaran-Nya yang menyatukan dua insan dalam sebuah ikatan suci. "Terimakasih ya Allah atas nikmat ini." ucapku dalam hati.

Dua hari berlalu, hari ini Saif mendapat panggilan untuk berangkat ke negeri matahari terbit. Kini aku benar-benar dilepas, jauh dari sanak keluarga dan berusaha sendiri membangun keluarga kecilku. Sebagai seorang istri sudah menjadi kewajibanku mengabdi padanya. Mengikuti setiap langkahnya, dan mendukungnya dalam segala hal. Laki-laki yang karena Allah aku mencintainya. "Terimakasih karena sudah menyebut namaku dalam setiap doamu Mas." kubisikkan kata-kata itu di telinga nya saat menunggu penerbangan ke Jepang malam ini. Dia tersenyum sembari menyubit pipiku.




-Rts22-

Komentar