Biarkan Waktu yang Berbicara

Assalamualaikum, haha udah lama ya amel gak nge-posting cerita?? maklum sobat amel baru selesai UN jadi  kemarin-kemarin masih sibuk belajar. kali ini amel akan kasih cerita tentang cinta dan persahabatan, selamat membaca....


Lya, begitulah teman-teman memanggilku. Aku anak bungsu dari dua bersaudara. Olivia, itulah nama kakak perempuanku yang cantik dan pendiam. Kami di lahirkan di keluarga yang sederhana tetapi kami sangat beruntung memiliki orang tua yang sudah melahirkan dan merawat kami dengan cinta & kasih sayang. Ayahku bekerja sebagai karyawan swasta dan bundaku hanya seorang ibu rumah tangga. Aku duduk di bangku kelas 8 sekolah menengah pertama dan kakakku siswi kelas 9 di sekolah yang sama denganku. Aku memiliki sahabat yang selalu ada untukku mereka adalah Sandra, Lisa, dan Singgih, kami berteman sejak kami duduk di bangku sekolah dasar.

“Lya, bangun sayang.” Suara lembut itu membelai telingaku.
“Iya, bun.” Jawabku sembari duduk di tepian ranjangku.
“Bunda tunggu di bawah ya.” Ucap bundaku sembari menutup pintu kamarku.

Aku berdiri dan berjalan menuju ruang sholat, disana terlihat olehku      ayah, bunda dan kak Oliv. Ya, ini adalah kebiasaan keluarga kamai, sholat subuh berjamaah di rumah.
Setelah selesai sholat aku mandi dan bersiap-siap untuk berangkat sekolah. Kulangkahkan kakiku menuju ruang makan untuk sarapan, seperti biasa aku yang selalu terlambat karena ayah, bunda dan kak Oliv sudah ada di sana, ya kak Oliv adalah gadis yang rajin, dia selalau membantu bunda memasak sedangkan aku hanya membantu bersih-bersih rumah saat hari libur saja.
Mobil yang di kemudikan ayahku berhenti tepat di depan pintu gerbang sekolahku, kak Oliv segera turun dan berjalan ke kelasnya tetapi aku menyempatkan untuk bergeremun sebentar dengan teman-teman di koridor sekolah sebelum masuk ke kelas. Ya,  lagi-lagi karena kak Oliv adalah siswa teladan di kelasnya bakan di sekolah, dia memang rajin dan disiplin.
“Teet,teet,teet.” Bel masuk berbunyi.
Aku dan Sandra segera masuk ke kelas, kelas masih gaduh dengan siswa-siswa di dalamnya. Tetapi saat Pak Roni datang suasana berubah menjadi tenang dan hening, maklum karena Pak Roni adalah guru tergalak di sekolah ku.

Tak lama jam istirahat pun tiba, Singgih mengajakku ke kantin tetapi aku menolaknya karena aku harus mengerjakan tugas Bahasa Inggris.

Saat jam pulang sekolah Sandra mengajak Lisa, Singgih dan aku ke rumahnya untuk belajar kelompok, jadi aku tidak bisa pulang dengan kak Oliv.
“Kak aku belajar di rumah Sandra, kakak gak pa-pa kan pulang sendiri?” tanyaku pada kak Oliv yang sedang berjalan ke arah gerbang.
“Iya, gak pa-pa tapi jangan pulang sore-sore.” Jawab kak Oliv sembari menepuk pundakku.
“O.K kak.” Jawabku sembari berlalu dari kakakku dan berjalan menuju Sandra.

Di perjalanan dengan tidak sengaja kami bertemu dengan anak kecil yang sedang mengamen di pinggir jalan, aku berhenti menatapnya dan menghampirinya.
“Lya, ayo cepetan.” Ucap Sandra kepadaku.
“Iya San, duluan saja.” Ucapku meyakinkan mereka yang merasa aneh dengan sikapku.

“Hei, kemari janga takut.” Ucapku pada anak itu yang mencoba untuk berlari karena takut saat ku perhatikan.
“Em...” jawab anak itu sembari berjalan ke arahku dengan ragu.
“Iya, kesini.” Ucapku meyakinkan
Aku mengajaknya duduk di bangku trotoar dan kami berbincang-bincang.
“Berapa umur mu?” tanya ku lembut.
“ 9 tahun kak.” Jawabnya pelan.
“ ibuku sedang sakit, jadi aku terpaksa mengamen di sini.” Lanjutnya perlahan dengan air mata yang berlinang di pipnya.
Setelah mendengar ucapannya hatiku terbesit luka yang amat dalam, anak yang masih berusia 9 tahun sudah merasakan pahitnya hidup dan kerasnya jalanan demi nenafkahi keluarganya. Aku malu dengannya, dia anak yang kuat dan tagguh sedangkan aku masih bermanja-manja dan bersenang-senang dengan teman-teman tanpa memikirkan orang lain yang kurang beruntung, mungkin tidak hanya 1 di dunia ini yang bernasip sama dengannya melainkan masih ada 100 bahkan 1000 orang di luar sana, aku benar-benar malu.
“Ini nomor handphone ku.” Ucapku sembari memberikan sehelai kertas dan ku sisipkan jatah uang sakuku minggu ini.
“o iya, kamu bisa menghubungiku jika ada masalah.” Lanjutku sebelum beranjak pergi.
“Terimakasih kak.” Jawab anak itu dan ikut bangkit dari duduknya.

Setibanya di rumah Sandra, aku terus memikirkan anak itu.
“Hemh, kasihan dia.” Gumamku sembari menghempaskan tubuhku di kursi ruang tamu Sandra.
“Siapa ya?” tanya Singgih yang duduk di sebelahku.
Enggak kok.” Jawabku sembari membuka-buka buku pelajaran.

Matahari beranjak turun, kami pun pulang ke rumah masing-masing, aku pulang dengan Singgih karena rumah kami berdekatan. Di sepanjang perjalan tak satu kata pun yang keluar dari mulutku, aku terus memikirkan anak yang ku temui siang tadi.
Saat tiba di rumah, aku segera masuk ke dalam rumah tanpa menyapa Singgih terlebih dahulu, dan aku menghempaskan tubuhku di tempat tidurku dan tenggelam dalam kelelahan sore itu.

Peristiwa 3 hari yang lalu terus menggelayuti fikiranku. Konsentrasiku mudah buyar akhir-akhir ini, entah karena rasa kasihan atau memang malu pada diriku sendiri yang bisa bersenang-senang dengan uang orang tua tanpa memikirkan betapa sulitnya mereka mendapatkannya. Di dalam hatiku terus terdengar suara itu, suara untuk membantunya dan sedikit meringankan hidupnya, tetapi umurku yang juga belum genap 14 tahun ini, apa yang bisa ku lakukan untuknya?
“Lya, Lya, Lya!” nada suara Bu Indah yang lama-kelamaan meninggi.
“Iya bu.” Ucapku yang langsung bangkit dari tempat dudukku karena terkejut.
“Ayo jawab pertanyaan di papan tulis.” Ucap Bu Indah sembari menunjuk papan tulis.
Aku hanya terbengong-bengong tak menyangka.
Apakah aku bisa menjawabnya? Kata-kata yag terlintas di otakku, karena pelajaran Bu Indah adalah pelajaran yang sulit aku pahami, ya mata pelajaran B.Inggris, pelajaran yang tidak pernah mendapat nilai lebih dati 75.
“Ayo Lya?!” ucap Bu Indah agak keras keras karena melihat aku yang masih berdiri di depan kursi tempat dudukku.
Perlahan aku melangkah dengan sangat ragu sembari sesekali menengok ke arah Lisa, karena dia siswi tercerdas pada mata pelajaran ini.
Aku memberi sebuah isyarat pada Lisa, namun hanya gelengan kepala yang aku dapat. Jawaban yang mengecewakan.
Aku meyakinkan diriku sendiri lalu meraih sebuah sepidol yang berada di atas meja Bu Indah.
“Aku pasti bisa.!” Gumamku sebelum menjawab di papan tulis.
“Kriing,, kriing.”  Bel pulang berbunyi dan menghentikan tanganku, bel yang terdengar sangat merdu dan membuat perasaanku sangat lega.
“Lya, duduk. Tapi kamu akan ibu beri tugas 2 kali lipat dari tugas teman-temanmu. Sebagai hukuman karena melamun di pelajaran saya. Anak-anak jangan pernah di tiru kejadian yang seperti ini, jika hal ini terulang lagi ibu akan memberi sanksi yang lebih berat. Mengerti?!” ucap Bu Indah tegas.
“Iya bu.” Jawabku dan teman-teman dengan nada lemas.

“Lya ayo pulang, cepetan!” teriak Kak Oliv di dekat pos satpam.
“Iya, tunggu.” Jawabku sedikit kesal, karena Kak Oliv mengganggu obrolan seruku dengan Sandra siang itu.
“San, aku pulang dulu ya, tuh, biasa nenek lampir.” Ucapku sembari memonyongkan bibir ke arah Kak Oliv.
“Hahaha, kamu ini adik durhaka.” Jawab Sandra terkikik geli.
“Haha, jangn lupa ya, Sabtu sore main ke rumah. Ajak yang lain juga.” Ucapku sembari berlari meninggalkan Sandra sendirian di ujung koridor sekolah.

“Lya, ayo siap-siap. Kemasi pakaianmu.”terdengar suara bunda di balik pintu kamarku.
“Memang ada apa bun? Mau kemana?” tanyaku sembari mendekati asal suara itu.
“Siang ini kita ke tempat nenek di Puncak.” Jawab bunda sambil menatap lembut  tubuhku yang terpaku di depan pintu.
“Hah, ke Puncak?” ucapku terkejut dan tak terasa mulutku sudah mengaga.
“tapi bun, besok lya ada janji sama temen-temen buat main kerumah, gak enaklah bun kalau di batalin.” lanjutku dengan nada sedih dan memelas.
Bunda hanya menatapku dengan senyum di sudut bibirnya seraya menggeleng, pertanda tidak setuju. Aku hanya terdiam seribu bahasa, bingung, kecewa, sedih.
“Dasar anak kecil, bisanya Cuma main terus.” Terdengar suara Kak Oliv di ruang tamu yang sedang mengejekku.
“Bund,....” ucapku berharap bunda memberikan pembelaan terhadap ejekan Kak Oliv.
“Siapa yang akan datang ke sini?” akhirnya sebuah suara keluar dari mulut bunda setelah sekian lama bunda terdiam.
“Sandra, Lisa dan Singgih.” Jawabku memelas.
“Cepat kamu kemasi pakaianmu sekarang. Tidak ada bantahan,” ucap bunda sembari melanjutkan memasukkan barang-barang ke dalam koper.
Dengan perasaan yang amat bersalah kepada teman-teman, aku melangkahkan kaki menuju tempat tidur dengan berat, kaku dan hampa yang menyelimutin hatiku.
Gak mungkin kan aku mengingkari janji yang aku buat sendiri?
Hah, teman macam apa aku ini?

“Lya, ngapain aja sih? Lama banget, dasar siput.” Cetus Kak Oliv sembari melongokkan wajahnya ke dalam kamarku.
Aku hanya terdiam dan tertunduk lesu dan segera turun kebawah membawa tas unguku yang terisi denga barang-barang kesayanganku.
“Ayah kemana bun?” tanya Kak Oliv pelan.
“Keluar sebentar, tunggu aja di sini, jangan kemana-mana.” Jawab bunda yang sedang mengunci pintu kamarnya.
Aku hanya duduk di kursi ruang tamu dan tak berminat bertanya apapun tentang rencana ini. Hanya mendengar percakapan bunda dan Kak Oliv saja aku sudah bosan dan tak bergairah.
“Ayo berangkat.” Ucap bunda sembari menarik kopernya ke luar rumah. Aku dan Kak Oliv mengikuti bunda dari belakang.

Ayah dan LGX silvernya mendekati berjalan mendekati kami di halaman rumah.
“Ayo cepat masuk, sebelum kita terjebak macet.” ucap ayah sembari keluar dari mobilnya dan memasukkan koper ke bagasi. Bunda duduk di kursi depan di sebelah ayah, aku dan Kak Oliv duduk di kursi tengah.
Ku hempaskan tubuhku di kursi mobil dengan lesu.
“Kenapa Lya kok cemberut?” tanya ayah karena melihat gerak-gerikku yang kurang nyaman.
Aku hanya menggeleng pelan dan menyenderkan kepalaku ke sandaran kursi. Dan mataku mulai terpejam saat mobil yang ayah kemudikan melesat meninggalkan rumah. Aku membuka mata lagi karena mendengar suara aneh di dalam mobil.
“Seperti suara yang di tahan.” Gumamku sedikit berbisik. Aku pejamkan kembali mata yang sudah lelah, tetapi ada yang aneh di sini, aku merasakannya.
“Kak, ngerasa ada ang aneh gak?”
“Enggak, kamu itu yang aneh.” Jawab Kak Oliv terkikik. Bunda dan ayah ikut tertawa geli.
“Ada apa sih? Gak lucu.” Ucapku makin penasaran dan sebal. Semua masih terkikik geli, aku bosan.
“Aneh.” Ucapku kesal sembari merentangkan tangan ke belakang sadaran kursi.
Aku terkejut, merasa ada sesuatau di belakang kursi. Ada yang tersentuh oleh tanganku. Tanpa di perntah, aku langsung membalikkan tubuhku.
“Kalian?” ucapku terkejut karena meliahat Sandra, Singgih dan Lisa yang sudah duduk di kursi paling belakang.
“Bunda..” ucapku sembari memeluk bunda dan kursinya dari belakang.
“makasih ya bun.” Ucapku lagi dengan perasaan yang teramat bahagia. Bunda hanya tersenyum manis. Pecahlah tawa dalam mobil kami. Aku dan teman-teman bersenda gurau selama perjalanan, hilanglah sedih yang aku rasakan, sedangkan Kak Oliv lebih memilih tidur dan mendengarkan lagu dari handphonenya.

Waktu 2 jam yang kami tempuh akhirnya berujung di sebuah halaman rumah yang terletak di pinggir kebun teh.
“Ayo anak-anak turun, kita sudah sampai.” Terdengar lamat-lamat suara bunda membangunkanku dan teman-temanku.
Kami melangkah menuju rumah dengan wajah kelelahan, dan kantuk yang masih menggelayuti. Seorang nenek keluar dan menyambut kami dengan senyuman di bibrnya.
“Cucu-cucu nenek, sudah besar semua ya?” ucapnya sembari memeluk kak Oliv dan aku bergantian.
“ayo, masuk-masuk.” Lanjutnya mempersilahkan kami masuk. Nenekku adalah janda beranak lima, yang tinggal bersama dengan putri bungsnya, Tante Rara, adik perempuan bundaku.
“Lya, gmana kbarmu?” sapa Putri, sepupuku, anak tunggal dari Tante Rara dan Om Doni.
“Baik Put, kamu gimana?” jawabku yang memberikan pertanyaan yang sama.
“Aku baik juga, itu teman-teman mu ya?” tanya Putri sembari menunjuk Singgih, Sandra, dan Lisa yang asik mengobrol di sofa pojok.
“Iya Put.” Jawabku dengan senyum di bibirku.
“Putri, buatkan air minum untuk Lya dan teman-temannya.” Ucap Tante Rara pelan.
“Tante gak usah repot-repot, Lya bisa buat sendiri kok.” Ucapku sembari tersenyum manis.
“Huu, sok nolak.” Celetus Kak Oliv. Membuatku kesal.
“Sudah-sudah. Butkan semuanya ya put.” Ucap Tante Rara menenangkan. Putri berjalan ke arah dapur dengn segera.
“Cucu nenek sudah besar ya?” puji nenek sembari memberikan senyuman termanisnya. Aku hanya tersipu malu.
“Wah, ramainya. Ada tamu agung rupanya?” suara Om Doni yang terdengar dari dapur, dan di susul oleh derapan kaki.
“Iya nih om, mana dong sambutan istimewa ntuk tamu agungya?”  ucapku bercanda.
“Hahaha, ayo di minum.” Ucap Om Doni yang akhirnya nampak dengan membawa nampan berisi makanan dan di susul oleh Putri di belakangnya yang membawa minuman.
Ruagan itu terasa ramai, terdengar candaan-candaan dan ledekan yang saling di lempar, serta cerita-cerita seru yang di ceritakan Om Doni dan sesekali tawa keluar memecah keseruan cerita.

“Lya, mau jalan-jalan gk?” tanya Putri saat kami berada di teras rumah.
“Boleh, mereka ikut gak apa-apa kan?” tanyaku sembari melirik pada Singgih, Lisa, dan Sandra.
“Boleh lah, ayo.” Jawabnya sembari berdiri.
Aku, Putri, Singgih, Lisa, dan Sandra bergegas pergi dan memulai perjalan jalan-jalan kami, dan tak di sangka Kak Oliv pun tertarik dan mengikuti di belakang sandra. Kami pun terasa di terbangkan angin dan lenyap dalam hijaunya daun-daun teh yang teramat menyegarkan.
Kami berpencar. Singgih tertarik melihat para warga yang memetik daun teh dan di temani putri, Lisa dan Sandra asyik berfoto ria, dan Kak Oliv yang memilih duduk di bawah pohon yang besar sembari menikmati pemandangan dan alam yang segar. Sedangkan aku tertarik dengan suara gemercik air yang berada di sudut kebun teh itu, kulangkahkan kakiku menuju sumber suara itu, terlihat olehku sungai kecil berarus tenang dan berair jernih.
“Wah, tenang sekali di sini.” Ucapku lembut sembari merentangkan kedua tanganku dan menarik napas dalam-dalam.
Bisik angin sejuk yang menyentuh kulit dan membelai rambutku, gemercik air yang merdu, dedaunan yang berlenggak-lenggok, membuatku nyaman berada di sini.
“Aduh-aduh ikannya lepas.” Terdengar suara anak laki-laki yang membuyarkan konsentrasiku. Aku menoleh ke arah suara itu. Kaki ini melangkah perlahan mendekatinya.

“Hai.” Sapaku pada anak itu. Lelaki seumuranku itu terkejut melihatku yang berada di sampingnya.
“Em, maaf. Aku mengagetkanmu ya?” tanyaku dengan penuh rasa bersalah.
“Gak apa-apa kok.” Jawabnya sembari tersenyum padaku.
“Aku boleh duduk?”
“Boleh, silahkan.”
“Kamu hobi memancing ya?” tanyaku memecah keheningan di tempat itu.
“Iya.” Jawabnya singkat.
“sepertinya aku belum pernah melihatmu.” Lanjutnya sembari memasang umpan pada kail pancingnya.
“Oh iya, aku ke sini hanya berlibur.” Jawabku singkat.
“aku boleh mencoba?” lanjutku sembari menunjuk pancing bambu yang tergenggam erat oleh tangan anak itu.
“Boleh, ini.” Jawabnya sembari memberikan pancing itu.
Obrolan itu terasa  sangat seru, mengalir begitu saja seperti arus sungai keil di depan kami. Waktu terus berjalan, kami mengobrolkan berbagai hal, tertawa, senda gurau, saling ledek, dan tak enggan untuk saling mecubit.
“Yee. Aku dapat.” Teriakku senang, umpan ku di makan ikan yang berukuran sedang.
“Wah kamu hebat.” Ucap lelaki itu seraya menepuk pundakku. Aku hanya tersenyum.
Aku bergegas berdiri dan akan segera meninggalkan tempat itu, setelah melihat arloji di tanganku menunjukkan pukul 6 sore.
“Aku pulang dulu, sudah sore.” Ucapku dan bergegas pergi.
“Tunggu.” Sebuah suara menahan langkahku. Aku enoleh ke arah itu.
“Nama kamu siapa? Aku Fajar.” Teriaknya kembali sembari beranjak dari dudukya.
“Lya.” Teriakku sembari berlari meninggalkan sungai kecil itu, melesat, menghilang, dan menuju rumah nenek.
“Semoga kita bertemu lagi.” Suara lamat-lamat yang tertangkap oleh telingaku jauh di belakang sana.

Terlihat ayah yang berdiri di depan pintu dengan wajah sangarnya. Langkahku terhenti, kaku, dan bercampur takut.
“Mmm, maaf yah.” Ucapku denga kepala tertunduk,
“Kamu tahu sudah jam berapa ini?!” tanya ayah tegas. Aku hanya mengangguk menahan rasa takut dan rasa bersalah..
“Apakah pantas seorang gadis keluyuran di desa orang hingga petang begini?!” tanya ayah dengan nada tinggi. Aku masih tertunduk dan menahan tangis.
“Ayah khawatir Lya, ya kami semua khawatir. Semua sudah mencarimu.”
“Maaf ayah.” Jawabku pelan terisak.
“Jangan pernah ulangi lagi ya sayang.” Ucap papa sembari memelukku.
“kami sayang sama Lya.” Lanjutnya berbisik di telingaku.
“Ayo masuk.” Ucap ayah meregangkan pelukannya dan berangsur pergi. Aku masih terdiam, lalu melangkahkan kaki menuju kamar mandi.

Terlihat ayah dan bunda asyik membuka kulit jagung, Tante Rara dan nenek menyiapkan peralatan makan, tak jauh dari tempat ayah duduk terlihat Om Doni dan Kak Oliv sedang memanggang ayam di atas bara, dan terlihat olehku juga Putri dan Singgih asyik dengan jagung bakar mereka, serta Sandra dan Lisa yang asyik berfoto di bawah sinar rembulan dengan backround  permadani hijau yang membentang luas di teras belakang rumah nenek.
Aku bingung. Langkahku terasa berat dan tak bergairah mendekati mereka, aku berhenti di tepi kolam kecil yang airnya sudah menghijau.
“Mereka terlihat sangat dekat.” Gumamku setelah ku perhatikan Putri dan Singgih.
“Lihat tuh temanmu lagai galau.” Suara  lamat-lamat yang tertngkap oleh telingaku. Aku yakin itu suara Sandara. Aku tak menggubris semua ejekan-ejekan mereka, yang ada di otakku adalah anak lelaki seumuranku yang kutemui di tepi sungai tadi.
“Siapa ya tadi namanya?” gumamku mengingat-ingat.
“em, F,.,.,.,.F.,.,.,.,”  ucapku berusaha mengingat.
“Fajar.” Teriakku saat sesuatu mengagetkanku dari belakang.
“Singgih..” teriakku kesal
“jahil banget sih.” Lanjutku sedikit geram.
“Hayo, cie loh Lya. Siapa Fajar? Kok gak di kenalin?” tanya Singgih bertubi-tubi.
“Ih, apa sih.” Jawabku tambah kesal.
Singgih berlari dan aku kejar, kesal sekali hati ini di buatnya. Walaupun begitu terdengar suara tawa di antara kami dan orang-orang yang melihat kami.

“Anak-anak ayo kesini, makan malm sudah siap.” Ucap Om Doni melambaikan tangannya.
“Wuhuu.” Seru Singgih semangat.
“Dasar Singgih, suka banget kalao masalah makan.” Ledek Sandra.
“Makan, hem.,.,” ucap Kak Oliv lembut sembari mengelus-ngelus perutnya yang sudah keroncongan.
“Pengen makan di sana.” Gumamku sembari memandangi tempat di pinggir kebun teh yang remang-remang.
“Ayo aku temenin.” Ucap Putri yang mendengar gumamanku.
“Emang boleh ya?” tanyaku penasaran.
“Kenapa gak boleh, ayo.” Jawabnya tegas.
“Kak mau ikut gak?”
“Boleh.” Jawab Kak Oliv sembari membawa makanannya.
“San, Lis, Singgih mau ikutan gk?”
“Em, bolehlah.” Jawab ke tiga temanku berbarengan.
“Jangan malam-malam pulangnya.” Teriak Tante Rara saat melihat kami berjalan meninggalkan teras belakang.
Di tempat yang bersih, remang-remang sinar bulan, pemandangan yang indah, suara jangkrik dan serangga malam yang lain serta bintang yang berloncatan menghiasi langit malam di atas kami.
Aku duduk di batang kelapa yang suda lama tumbang sembari menggigit jagung bakar yang aku bawa. Suasana tenang. Semua orang asyik menghabiskan makanan mereka semai menikmati pemandangan.
“Put memangnya setiap hari ada yang mancing ya di sungai itu?” tanyaku memecah keheningan sembari menunjuk sunagi kecil yag aku datangi sore tadi.
“Tidak tentu. Memangnya kenapa?” jawab Putri dan menatap lekat-lekat wajahku.
“Em, enggak apa-apa sih.” Ucapku pelan.
Waktu terus berlalu. Obrolan yang tadi ramai berubah sepi dan tak jarang terdengar suara menguap di antara kami bergantian.
“Ayo  pulang. Sudah jam 11.” Ucap Kak Oliv tiba-tiba.
“Iya, ayo. Aku sudah ngantuk berat.” Jawab Sandra sembari bangkit dari duduknya.
“Betul, huaaa.” Ucap Lisa menyetujui yang di ikuti uapan yang besar.
Kami melangkah dari tempat itu, jalan sempoyongan dan bahkan ada yang tersandung akibat sudah terlalu mengantuk.

“Ayo cuci kaki dan segera tidur.” Ucap bunda pada kami. Kami hanya mengangguk dan bergegas pergi.
Kami tidur di rumah nenek yang tidak terlalu besar dan mewah, beralaskan karpet-karpet yang di susun rapi.

Kokokan Ayam jantin membagunkanku. Kulihat jam menunjukkan waktu subuh tiba. Ku langkahkan kakiku menuju tempat wudu dan bergegas sholat. Usai sholat aku berjalan menuju teras rumah. Suasana yang masih sunyi dan masih tersisa dinginnya angin malam. Ku hempaskan tubuhku di kursi yang sudah tua dengan penuh rasa penasaran tentang Fajar, anak lelaki yang kemarin aku temui. Hingga tak terasa pagi benar-benar tiba, banyak arga yang pergi berkebun dan mentari sudah menebar senyuman.
“Lya, sudah bangun?” tanya Om Doni yang muncul dari ruang tamu.
“Iya Om.” Jawabku singkat.
“Mau ikut jalan-jalan gak?” tanya Om Doni lagi.
“Boleh.” Jawabku semangat, berharap hari ini bsa bertemu dengan Fajar.
“Ayo, yang lain sudah menunggu di belakang.” Ucap Om Doni bergegas pergi.
Seharian ku habiskan waktu untuk berjalan-jalan di desa kelahiran bundaku. Tetapi ada rasa kecewa yang menggelayuti hatiku.  Fajar, ya Fajar, tak ku temui lagi batang hidungnya  di desa ini. Menghilang, lenyap bersama aliran sungai kecil itu. Dengan terpaksa ku tinggalkan desa ini, dan akan kembali lagi dalam kurun waktu yang lama.

Pagi itu, aku kembali ke sekolah. Bersama Kak Oliv kulangkahkan kaki menuju gerbang, di koridor aku dan Kak Oliv terpish. Di dalam kelas sudah ku lihat ke tiga sahabatku duduk di bangku mereka.
“Hei, ada anak baru yang masuk kelas kita.” Ucap Lisa saat aku duduk di sebelahnya. Aku hanya terdiam tanpa ada rasa penasaran sedikitpun.
Suara riuh seketika menghilang saat Pak Burhan memasuki ruang kelas kami.
“Itu anak barunya.” Ucap salah seorang temanku.
Saat ku tegakkan wajahku yang telah lama ku tundukkan, betapa terkejutnya aku. Anak baru itu, aku melongo di buatnya. Hampir tak percaya dan benar-benar tak percaya, anak baru itu ternyata Fajar. Tak berkedip mata ini memandangnya. Dia duduk di sebelah Singgih.
“Apa itu benar-benar dia?” gumamku tak percaya.
Ku pastkikan sekali lagi, dan menoleh ke arahnya dan betapa senangnya hati ini melihat senyuman manis dari bibirnya, membuatku yakin di benar-benar Fajar yang ku temui di tepi sungai kecil itu.

“Hai Lya.” Sebuah suara mengagetkanku. Tanpa menjawab aku langsung menoleh dan tersenyum.
“Fajar.” Ucapku gugup. Fajar hanya tersenyum dan mengangguk lantas duduk da bergabung dengan aku, Lisa, Sandra dan Singgih.
Lho kalin kok seperti sudah dekat?.” Tanya Lisa penasaran. Aku dan Fajar hanya tersenyum.
Tiba-tiba Singgih terperanjat dan menyadari sesuatu.
“Eh, kamu Fajar ya?” tanya Singgih mengejutkan.
“Iyalah, kita kan tadi udah kenalan.” Jawab Sandra terheran-heran.
“Bukan itu. Kayaknya aku pernah denger itu  dari Lya.” Ucap Singgih sembari terus berfikir.
Aku hanya terdiam dan menahan malu, Fajar hanya tersenyum.
“Oh iya, Lya pernah nyebutin nama Fajar waktu di rumah nenekya di puncak itu loh. Cie pantesan udah akrab gitu, oh jadi ini yang namanya Fajar, yang buat Lya galau.” Celetus Singgih lantang.
“Ih, apa sih.” Jawabku sambil tersenyum geli.
Obrolan saat jam istirahat itu berlanjut hingga bel masuk berbunyi. Obrolan yang sangat menyenangkan.

Seperti biasa Kak Oliv menungguku di pintu gerbang dengan wajah sinisnya, menunggu aku yang sedang asyik mengobrol.
“Lya cepetan.” teriak Kak Oliv sembari melambaikan tangannya. Aku hanya menegakkam ke lima jariku dan menghadapkannya ke Kak Oliv.
“Fajar kamu tinggal di mana?” tanyaku penasaran saat kami berjalan menuju ke gerbang sekolah.
“Di Perumahan Ungu Jl. Tulip Nomor 22.” Jawabnya singkat.
“Oh, itu dekat dengan rumahku dan Singgih, mau bareng?” tanyaku pelan.
“Tidak lain kali saja, hari ini aku di jemput.” Jawabnya lagi-lgi singkat.
“Ayo nggih.” Ucapku sembari menarik tangan Singgih dan berjalan menuju Kak Oliv.
“Duluan ya Jar.” Ucap Singgih sembari melambaikan tangan.

Aku berdiri di dekat jendela kamarku dan memandang keluar, aku sangat beruntung bisa bertemu lagi dengan seseorang yang aku suka atau mungkin sayang? Tetapi ini adalah awal, masih ada banyak tantangan dan tantangan yang mungkin datang menghampiri kami (Aku dan Fajar) walaupun begitu, terimakasih Tuhan, aku yakin Engkau akan mempersatukan kami suatu saat nanti. Tapi apakah dia punya perasaan ang sama denganku? Apa dia akan selalu bersamaku? Semua itu akan terjawab saat kami sudah siap. Aku akan menyimpan perasaan ini hingga Tuhan mengizinkan aku mengungkapkannya.



                                                                                                                     Rts22

Komentar