Assalamualaikum, haha udah lama ya amel gak nge-posting cerita?? maklum sobat amel baru selesai UN jadi kemarin-kemarin masih sibuk belajar. kali ini amel akan kasih cerita tentang cinta dan persahabatan, selamat membaca....
Rts22
Lya,
begitulah teman-teman memanggilku. Aku anak bungsu dari dua bersaudara. Olivia,
itulah nama kakak perempuanku yang cantik dan pendiam. Kami di lahirkan di
keluarga yang sederhana tetapi kami sangat beruntung memiliki orang tua yang
sudah melahirkan dan merawat kami dengan cinta & kasih sayang. Ayahku
bekerja sebagai karyawan swasta dan bundaku hanya seorang ibu rumah tangga. Aku
duduk di bangku kelas 8 sekolah menengah pertama dan kakakku siswi kelas 9 di
sekolah yang sama denganku. Aku memiliki sahabat yang selalu ada untukku mereka
adalah Sandra, Lisa, dan Singgih, kami berteman sejak kami duduk di bangku
sekolah dasar.
“Lya, bangun
sayang.” Suara lembut itu membelai telingaku.
“Iya, bun.”
Jawabku sembari duduk di tepian ranjangku.
“Bunda
tunggu di bawah ya.” Ucap bundaku sembari menutup pintu kamarku.
Aku berdiri
dan berjalan menuju ruang sholat, disana terlihat olehku ayah, bunda dan kak Oliv. Ya, ini adalah kebiasaan keluarga
kamai, sholat subuh berjamaah di rumah.
Setelah
selesai sholat aku mandi dan bersiap-siap untuk berangkat sekolah. Kulangkahkan
kakiku menuju ruang makan untuk sarapan, seperti biasa aku yang selalu
terlambat karena ayah, bunda dan kak Oliv sudah ada di sana, ya kak Oliv adalah
gadis yang rajin, dia selalau membantu bunda memasak sedangkan aku hanya
membantu bersih-bersih rumah saat hari libur saja.
Mobil yang
di kemudikan ayahku berhenti tepat di depan pintu gerbang sekolahku, kak Oliv
segera turun dan berjalan ke kelasnya tetapi aku menyempatkan untuk bergeremun
sebentar dengan teman-teman di koridor sekolah sebelum masuk ke kelas. Ya, lagi-lagi karena kak Oliv adalah siswa
teladan di kelasnya bakan di sekolah, dia memang rajin dan disiplin.
“Teet,teet,teet.”
Bel masuk berbunyi.
Aku dan
Sandra segera masuk ke kelas, kelas masih gaduh dengan siswa-siswa di dalamnya.
Tetapi saat Pak Roni datang suasana berubah menjadi tenang dan hening, maklum
karena Pak Roni adalah guru tergalak di sekolah ku.
Tak lama jam
istirahat pun tiba, Singgih mengajakku ke kantin tetapi aku menolaknya karena
aku harus mengerjakan tugas Bahasa Inggris.
Saat jam
pulang sekolah Sandra mengajak Lisa, Singgih dan aku ke rumahnya untuk belajar
kelompok, jadi aku tidak bisa pulang dengan kak Oliv.
“Kak aku
belajar di rumah Sandra, kakak gak pa-pa kan pulang sendiri?” tanyaku pada kak
Oliv yang sedang berjalan ke arah gerbang.
“Iya, gak
pa-pa tapi jangan pulang sore-sore.” Jawab kak Oliv sembari menepuk pundakku.
“O.K kak.”
Jawabku sembari berlalu dari kakakku dan berjalan menuju Sandra.
Di
perjalanan dengan tidak sengaja kami bertemu dengan anak kecil yang sedang
mengamen di pinggir jalan, aku berhenti menatapnya dan menghampirinya.
“Lya, ayo
cepetan.” Ucap Sandra kepadaku.
“Iya San,
duluan saja.” Ucapku meyakinkan mereka yang merasa aneh dengan sikapku.
“Hei, kemari
janga takut.” Ucapku pada anak itu yang mencoba untuk berlari karena takut saat
ku perhatikan.
“Em...”
jawab anak itu sembari berjalan ke arahku dengan ragu.
“Iya,
kesini.” Ucapku meyakinkan
Aku mengajaknya
duduk di bangku trotoar dan kami berbincang-bincang.
“Berapa umur
mu?” tanya ku lembut.
“ 9 tahun
kak.” Jawabnya pelan.
“ ibuku
sedang sakit, jadi aku terpaksa mengamen di sini.” Lanjutnya perlahan dengan
air mata yang berlinang di pipnya.
Setelah
mendengar ucapannya hatiku terbesit luka yang amat dalam, anak yang masih
berusia 9 tahun sudah merasakan pahitnya hidup dan kerasnya jalanan demi
nenafkahi keluarganya. Aku malu dengannya, dia anak yang kuat dan tagguh
sedangkan aku masih bermanja-manja dan bersenang-senang dengan teman-teman
tanpa memikirkan orang lain yang kurang beruntung, mungkin tidak hanya 1 di
dunia ini yang bernasip sama dengannya melainkan masih ada 100 bahkan 1000
orang di luar sana, aku benar-benar malu.
“Ini nomor handphone ku.” Ucapku sembari memberikan
sehelai kertas dan ku sisipkan jatah uang sakuku minggu ini.
“o iya, kamu
bisa menghubungiku jika ada masalah.” Lanjutku sebelum beranjak pergi.
“Terimakasih
kak.” Jawab anak itu dan ikut bangkit dari duduknya.
Setibanya di
rumah Sandra, aku terus memikirkan anak itu.
“Hemh,
kasihan dia.” Gumamku sembari menghempaskan tubuhku di kursi ruang tamu Sandra.
“Siapa ya?”
tanya Singgih yang duduk di sebelahku.
“Enggak kok.” Jawabku sembari
membuka-buka buku pelajaran.
Matahari
beranjak turun, kami pun pulang ke rumah masing-masing, aku pulang dengan
Singgih karena rumah kami berdekatan. Di sepanjang perjalan tak satu kata pun
yang keluar dari mulutku, aku terus memikirkan anak yang ku temui siang tadi.
Saat tiba di
rumah, aku segera masuk ke dalam rumah tanpa menyapa Singgih terlebih dahulu,
dan aku menghempaskan tubuhku di tempat tidurku dan tenggelam dalam kelelahan
sore itu.
Peristiwa 3
hari yang lalu terus menggelayuti fikiranku. Konsentrasiku mudah buyar
akhir-akhir ini, entah karena rasa kasihan atau memang malu pada diriku sendiri
yang bisa bersenang-senang dengan uang orang tua tanpa memikirkan betapa
sulitnya mereka mendapatkannya. Di dalam hatiku terus terdengar suara itu,
suara untuk membantunya dan sedikit meringankan hidupnya, tetapi umurku yang
juga belum genap 14 tahun ini, apa yang bisa ku lakukan untuknya?
“Lya, Lya,
Lya!” nada suara Bu Indah yang lama-kelamaan meninggi.
“Iya bu.”
Ucapku yang langsung bangkit dari tempat dudukku karena terkejut.
“Ayo jawab
pertanyaan di papan tulis.” Ucap Bu Indah sembari menunjuk papan tulis.
Aku hanya
terbengong-bengong tak menyangka.
Apakah aku
bisa menjawabnya? Kata-kata yag terlintas di otakku, karena pelajaran Bu Indah
adalah pelajaran yang sulit aku pahami, ya mata pelajaran B.Inggris, pelajaran
yang tidak pernah mendapat nilai lebih dati 75.
“Ayo Lya?!”
ucap Bu Indah agak keras keras karena melihat aku yang masih berdiri di depan
kursi tempat dudukku.
Perlahan aku
melangkah dengan sangat ragu sembari sesekali menengok ke arah Lisa, karena dia
siswi tercerdas pada mata pelajaran ini.
Aku memberi
sebuah isyarat pada Lisa, namun hanya gelengan kepala yang aku dapat. Jawaban
yang mengecewakan.
Aku
meyakinkan diriku sendiri lalu meraih sebuah sepidol yang berada di atas meja
Bu Indah.
“Aku pasti
bisa.!” Gumamku sebelum menjawab di papan tulis.
“Kriing,,
kriing.” Bel pulang berbunyi dan menghentikan
tanganku, bel yang terdengar sangat merdu dan membuat perasaanku sangat lega.
“Lya, duduk.
Tapi kamu akan ibu beri tugas 2 kali lipat dari tugas teman-temanmu. Sebagai
hukuman karena melamun di pelajaran saya. Anak-anak jangan pernah di tiru
kejadian yang seperti ini, jika hal ini terulang lagi ibu akan memberi sanksi
yang lebih berat. Mengerti?!” ucap Bu Indah tegas.
“Iya bu.”
Jawabku dan teman-teman dengan nada lemas.
“Lya ayo
pulang, cepetan!” teriak Kak Oliv di dekat pos satpam.
“Iya,
tunggu.” Jawabku sedikit kesal, karena Kak Oliv mengganggu obrolan seruku
dengan Sandra siang itu.
“San, aku
pulang dulu ya, tuh, biasa nenek lampir.” Ucapku sembari memonyongkan bibir ke
arah Kak Oliv.
“Hahaha,
kamu ini adik durhaka.” Jawab Sandra terkikik geli.
“Haha, jangn
lupa ya, Sabtu sore main ke rumah. Ajak yang lain juga.” Ucapku sembari berlari
meninggalkan Sandra sendirian di ujung koridor sekolah.
“Lya, ayo
siap-siap. Kemasi pakaianmu.”terdengar suara bunda di balik pintu kamarku.
“Memang ada
apa bun? Mau kemana?” tanyaku sembari mendekati asal suara itu.
“Siang ini
kita ke tempat nenek di Puncak.” Jawab bunda sambil menatap lembut tubuhku yang terpaku di depan pintu.
“Hah, ke
Puncak?” ucapku terkejut dan tak terasa mulutku sudah mengaga.
“tapi bun,
besok lya ada janji sama temen-temen buat main kerumah, gak enaklah bun kalau
di batalin.” lanjutku dengan nada sedih dan memelas.
Bunda hanya
menatapku dengan senyum di sudut bibirnya seraya menggeleng, pertanda tidak
setuju. Aku hanya terdiam seribu bahasa, bingung, kecewa, sedih.
“Dasar anak
kecil, bisanya Cuma main terus.” Terdengar suara Kak Oliv di ruang tamu yang
sedang mengejekku.
“Bund,....”
ucapku berharap bunda memberikan pembelaan terhadap ejekan Kak Oliv.
“Siapa yang
akan datang ke sini?” akhirnya sebuah suara keluar dari mulut bunda setelah
sekian lama bunda terdiam.
“Sandra,
Lisa dan Singgih.” Jawabku memelas.
“Cepat kamu
kemasi pakaianmu sekarang. Tidak ada bantahan,” ucap bunda sembari melanjutkan
memasukkan barang-barang ke dalam koper.
Dengan
perasaan yang amat bersalah kepada teman-teman, aku melangkahkan kaki menuju
tempat tidur dengan berat, kaku dan hampa yang menyelimutin hatiku.
Gak mungkin
kan aku mengingkari janji yang aku buat sendiri?
Hah, teman
macam apa aku ini?
“Lya,
ngapain aja sih? Lama banget, dasar
siput.” Cetus Kak Oliv sembari melongokkan wajahnya ke dalam kamarku.
Aku hanya
terdiam dan tertunduk lesu dan segera turun kebawah membawa tas unguku yang
terisi denga barang-barang kesayanganku.
“Ayah kemana
bun?” tanya Kak Oliv pelan.
“Keluar
sebentar, tunggu aja di sini, jangan kemana-mana.” Jawab bunda yang sedang
mengunci pintu kamarnya.
Aku hanya
duduk di kursi ruang tamu dan tak berminat bertanya apapun tentang rencana ini.
Hanya mendengar percakapan bunda dan Kak Oliv saja aku sudah bosan dan tak
bergairah.
“Ayo
berangkat.” Ucap bunda sembari menarik kopernya ke luar rumah. Aku dan Kak Oliv
mengikuti bunda dari belakang.
Ayah dan LGX
silvernya mendekati berjalan mendekati kami di halaman rumah.
“Ayo cepat
masuk, sebelum kita terjebak macet.” ucap ayah sembari keluar dari mobilnya dan
memasukkan koper ke bagasi. Bunda duduk di kursi depan di sebelah ayah, aku dan
Kak Oliv duduk di kursi tengah.
Ku hempaskan
tubuhku di kursi mobil dengan lesu.
“Kenapa Lya
kok cemberut?” tanya ayah karena melihat gerak-gerikku yang kurang nyaman.
Aku hanya
menggeleng pelan dan menyenderkan kepalaku ke sandaran kursi. Dan mataku mulai
terpejam saat mobil yang ayah kemudikan melesat meninggalkan rumah. Aku membuka
mata lagi karena mendengar suara aneh di dalam mobil.
“Seperti
suara yang di tahan.” Gumamku sedikit berbisik. Aku pejamkan kembali mata yang
sudah lelah, tetapi ada yang aneh di sini, aku merasakannya.
“Kak,
ngerasa ada ang aneh gak?”
“Enggak,
kamu itu yang aneh.” Jawab Kak Oliv terkikik. Bunda dan ayah ikut tertawa geli.
“Ada apa sih? Gak lucu.” Ucapku makin penasaran
dan sebal. Semua masih terkikik geli, aku bosan.
“Aneh.”
Ucapku kesal sembari merentangkan tangan ke belakang sadaran kursi.
Aku
terkejut, merasa ada sesuatau di belakang kursi. Ada yang tersentuh oleh
tanganku. Tanpa di perntah, aku langsung membalikkan tubuhku.
“Kalian?”
ucapku terkejut karena meliahat Sandra, Singgih dan Lisa yang sudah duduk di
kursi paling belakang.
“Bunda..” ucapku
sembari memeluk bunda dan kursinya dari belakang.
“makasih ya
bun.” Ucapku lagi dengan perasaan yang teramat bahagia. Bunda hanya tersenyum
manis. Pecahlah tawa dalam mobil kami. Aku dan teman-teman bersenda gurau
selama perjalanan, hilanglah sedih yang aku rasakan, sedangkan Kak Oliv lebih
memilih tidur dan mendengarkan lagu dari handphonenya.
Waktu 2 jam
yang kami tempuh akhirnya berujung di sebuah halaman rumah yang terletak di
pinggir kebun teh.
“Ayo
anak-anak turun, kita sudah sampai.” Terdengar lamat-lamat suara bunda
membangunkanku dan teman-temanku.
Kami
melangkah menuju rumah dengan wajah kelelahan, dan kantuk yang masih
menggelayuti. Seorang nenek keluar dan menyambut kami dengan senyuman di
bibrnya.
“Cucu-cucu
nenek, sudah besar semua ya?” ucapnya sembari memeluk kak Oliv dan aku
bergantian.
“ayo,
masuk-masuk.” Lanjutnya mempersilahkan kami masuk. Nenekku adalah janda beranak
lima, yang tinggal bersama dengan putri bungsnya, Tante Rara, adik perempuan
bundaku.
“Lya, gmana
kbarmu?” sapa Putri, sepupuku, anak tunggal dari Tante Rara dan Om Doni.
“Baik Put,
kamu gimana?” jawabku yang memberikan pertanyaan yang sama.
“Aku baik
juga, itu teman-teman mu ya?” tanya Putri sembari menunjuk Singgih, Sandra, dan
Lisa yang asik mengobrol di sofa pojok.
“Iya Put.”
Jawabku dengan senyum di bibirku.
“Putri,
buatkan air minum untuk Lya dan teman-temannya.” Ucap Tante Rara pelan.
“Tante gak
usah repot-repot, Lya bisa buat sendiri kok.” Ucapku sembari tersenyum manis.
“Huu, sok
nolak.” Celetus Kak Oliv. Membuatku kesal.
“Sudah-sudah.
Butkan semuanya ya put.” Ucap Tante Rara menenangkan. Putri berjalan ke arah
dapur dengn segera.
“Cucu nenek
sudah besar ya?” puji nenek sembari memberikan senyuman termanisnya. Aku hanya
tersipu malu.
“Wah, ramainya.
Ada tamu agung rupanya?” suara Om Doni yang terdengar dari dapur, dan di susul
oleh derapan kaki.
“Iya nih om,
mana dong sambutan istimewa ntuk tamu agungya?”
ucapku bercanda.
“Hahaha, ayo
di minum.” Ucap Om Doni yang akhirnya nampak dengan membawa nampan berisi
makanan dan di susul oleh Putri di belakangnya yang membawa minuman.
Ruagan itu
terasa ramai, terdengar candaan-candaan dan ledekan yang saling di lempar,
serta cerita-cerita seru yang di ceritakan Om Doni dan sesekali tawa keluar
memecah keseruan cerita.
“Lya, mau
jalan-jalan gk?” tanya Putri saat kami berada di teras rumah.
“Boleh,
mereka ikut gak apa-apa kan?” tanyaku sembari melirik pada Singgih, Lisa, dan
Sandra.
“Boleh lah,
ayo.” Jawabnya sembari berdiri.
Aku, Putri,
Singgih, Lisa, dan Sandra bergegas pergi dan memulai perjalan jalan-jalan kami,
dan tak di sangka Kak Oliv pun tertarik dan mengikuti di belakang sandra. Kami
pun terasa di terbangkan angin dan lenyap dalam hijaunya daun-daun teh yang
teramat menyegarkan.
Kami
berpencar. Singgih tertarik melihat para warga yang memetik daun teh dan di
temani putri, Lisa dan Sandra asyik berfoto ria, dan Kak Oliv yang memilih
duduk di bawah pohon yang besar sembari menikmati pemandangan dan alam yang
segar. Sedangkan aku tertarik dengan suara gemercik air yang berada di sudut
kebun teh itu, kulangkahkan kakiku menuju sumber suara itu, terlihat olehku
sungai kecil berarus tenang dan berair jernih.
“Wah, tenang
sekali di sini.” Ucapku lembut sembari merentangkan kedua tanganku dan menarik
napas dalam-dalam.
Bisik angin
sejuk yang menyentuh kulit dan membelai rambutku, gemercik air yang merdu,
dedaunan yang berlenggak-lenggok, membuatku nyaman berada di sini.
“Aduh-aduh
ikannya lepas.” Terdengar suara anak laki-laki yang membuyarkan konsentrasiku. Aku
menoleh ke arah suara itu. Kaki ini melangkah perlahan mendekatinya.
“Hai.”
Sapaku pada anak itu. Lelaki seumuranku itu terkejut melihatku yang berada di
sampingnya.
“Em, maaf.
Aku mengagetkanmu ya?” tanyaku dengan penuh rasa bersalah.
“Gak apa-apa
kok.” Jawabnya sembari tersenyum padaku.
“Aku boleh
duduk?”
“Boleh,
silahkan.”
“Kamu hobi
memancing ya?” tanyaku memecah keheningan di tempat itu.
“Iya.”
Jawabnya singkat.
“sepertinya
aku belum pernah melihatmu.” Lanjutnya sembari memasang umpan pada kail pancingnya.
“Oh iya, aku
ke sini hanya berlibur.” Jawabku singkat.
“aku boleh
mencoba?” lanjutku sembari menunjuk pancing bambu yang tergenggam erat oleh
tangan anak itu.
“Boleh,
ini.” Jawabnya sembari memberikan pancing itu.
Obrolan itu
terasa sangat seru, mengalir begitu saja
seperti arus sungai keil di depan kami. Waktu terus berjalan, kami mengobrolkan
berbagai hal, tertawa, senda gurau, saling ledek, dan tak enggan untuk saling
mecubit.
“Yee. Aku
dapat.” Teriakku senang, umpan ku di makan ikan yang berukuran sedang.
“Wah kamu
hebat.” Ucap lelaki itu seraya menepuk pundakku. Aku hanya tersenyum.
Aku bergegas
berdiri dan akan segera meninggalkan tempat itu, setelah melihat arloji di
tanganku menunjukkan pukul 6 sore.
“Aku pulang
dulu, sudah sore.” Ucapku dan bergegas pergi.
“Tunggu.”
Sebuah suara menahan langkahku. Aku enoleh ke arah itu.
“Nama kamu
siapa? Aku Fajar.” Teriaknya kembali sembari beranjak dari dudukya.
“Lya.”
Teriakku sembari berlari meninggalkan sungai kecil itu, melesat, menghilang,
dan menuju rumah nenek.
“Semoga kita
bertemu lagi.” Suara lamat-lamat yang tertangkap oleh telingaku jauh di
belakang sana.
Terlihat
ayah yang berdiri di depan pintu dengan wajah sangarnya. Langkahku terhenti,
kaku, dan bercampur takut.
“Mmm, maaf
yah.” Ucapku denga kepala tertunduk,
“Kamu tahu
sudah jam berapa ini?!” tanya ayah tegas. Aku hanya mengangguk menahan rasa
takut dan rasa bersalah..
“Apakah
pantas seorang gadis keluyuran di desa orang hingga petang begini?!” tanya ayah
dengan nada tinggi. Aku masih tertunduk dan menahan tangis.
“Ayah
khawatir Lya, ya kami semua khawatir. Semua sudah mencarimu.”
“Maaf ayah.”
Jawabku pelan terisak.
“Jangan
pernah ulangi lagi ya sayang.” Ucap papa sembari memelukku.
“kami sayang
sama Lya.” Lanjutnya berbisik di telingaku.
“Ayo masuk.”
Ucap ayah meregangkan pelukannya dan berangsur pergi. Aku masih terdiam, lalu
melangkahkan kaki menuju kamar mandi.
Terlihat
ayah dan bunda asyik membuka kulit jagung, Tante Rara dan nenek menyiapkan
peralatan makan, tak jauh dari tempat ayah duduk terlihat Om Doni dan Kak Oliv
sedang memanggang ayam di atas bara, dan terlihat olehku juga Putri dan Singgih
asyik dengan jagung bakar mereka, serta Sandra dan Lisa yang asyik berfoto di
bawah sinar rembulan dengan backround permadani
hijau yang membentang luas di teras belakang rumah nenek.
Aku bingung.
Langkahku terasa berat dan tak bergairah mendekati mereka, aku berhenti di tepi
kolam kecil yang airnya sudah menghijau.
“Mereka
terlihat sangat dekat.” Gumamku setelah ku perhatikan Putri dan Singgih.
“Lihat tuh temanmu lagai galau.” Suara lamat-lamat
yang tertngkap oleh telingaku. Aku yakin itu suara Sandara. Aku tak menggubris
semua ejekan-ejekan mereka, yang ada di otakku adalah anak lelaki seumuranku
yang kutemui di tepi sungai tadi.
“Siapa ya
tadi namanya?” gumamku mengingat-ingat.
“em,
F,.,.,.,.F.,.,.,.,” ucapku berusaha
mengingat.
“Fajar.”
Teriakku saat sesuatu mengagetkanku dari belakang.
“Singgih..”
teriakku kesal
“jahil
banget sih.” Lanjutku sedikit geram.
“Hayo, cie
loh Lya. Siapa Fajar? Kok gak di kenalin?” tanya Singgih bertubi-tubi.
“Ih, apa
sih.” Jawabku tambah kesal.
Singgih
berlari dan aku kejar, kesal sekali hati ini di buatnya. Walaupun begitu
terdengar suara tawa di antara kami dan orang-orang yang melihat kami.
“Anak-anak
ayo kesini, makan malm sudah siap.” Ucap Om Doni melambaikan tangannya.
“Wuhuu.”
Seru Singgih semangat.
“Dasar
Singgih, suka banget kalao masalah makan.” Ledek Sandra.
“Makan,
hem.,.,” ucap Kak Oliv lembut sembari mengelus-ngelus perutnya yang sudah
keroncongan.
“Pengen
makan di sana.” Gumamku sembari memandangi tempat di pinggir kebun teh yang
remang-remang.
“Ayo aku
temenin.” Ucap Putri yang mendengar gumamanku.
“Emang boleh
ya?” tanyaku penasaran.
“Kenapa gak
boleh, ayo.” Jawabnya tegas.
“Kak mau
ikut gak?”
“Boleh.”
Jawab Kak Oliv sembari membawa makanannya.
“San, Lis,
Singgih mau ikutan gk?”
“Em,
bolehlah.” Jawab ke tiga temanku berbarengan.
“Jangan
malam-malam pulangnya.” Teriak Tante Rara saat melihat kami berjalan
meninggalkan teras belakang.
Di tempat
yang bersih, remang-remang sinar bulan, pemandangan yang indah, suara jangkrik
dan serangga malam yang lain serta bintang yang berloncatan menghiasi langit
malam di atas kami.
Aku duduk di
batang kelapa yang suda lama tumbang sembari menggigit jagung bakar yang aku
bawa. Suasana tenang. Semua orang asyik menghabiskan makanan mereka semai
menikmati pemandangan.
“Put
memangnya setiap hari ada yang mancing ya di sungai itu?” tanyaku memecah
keheningan sembari menunjuk sunagi kecil yag aku datangi sore tadi.
“Tidak
tentu. Memangnya kenapa?” jawab Putri dan menatap lekat-lekat wajahku.
“Em, enggak
apa-apa sih.” Ucapku pelan.
Waktu terus
berlalu. Obrolan yang tadi ramai berubah sepi dan tak jarang terdengar suara
menguap di antara kami bergantian.
“Ayo pulang. Sudah jam 11.” Ucap Kak Oliv
tiba-tiba.
“Iya, ayo.
Aku sudah ngantuk berat.” Jawab Sandra sembari bangkit dari duduknya.
“Betul,
huaaa.” Ucap Lisa menyetujui yang di ikuti uapan yang besar.
Kami
melangkah dari tempat itu, jalan sempoyongan dan bahkan ada yang tersandung
akibat sudah terlalu mengantuk.
“Ayo cuci
kaki dan segera tidur.” Ucap bunda pada kami. Kami hanya mengangguk dan
bergegas pergi.
Kami tidur
di rumah nenek yang tidak terlalu besar dan mewah, beralaskan karpet-karpet
yang di susun rapi.
Kokokan Ayam jantin membagunkanku. Kulihat
jam menunjukkan waktu subuh tiba. Ku langkahkan kakiku menuju tempat wudu dan
bergegas sholat. Usai sholat aku berjalan menuju teras rumah. Suasana yang
masih sunyi dan masih tersisa dinginnya angin malam. Ku hempaskan tubuhku di
kursi yang sudah tua dengan penuh rasa penasaran tentang Fajar, anak lelaki
yang kemarin aku temui. Hingga tak terasa pagi benar-benar tiba, banyak arga
yang pergi berkebun dan mentari sudah menebar senyuman.
“Lya, sudah
bangun?” tanya Om Doni yang muncul dari ruang tamu.
“Iya Om.”
Jawabku singkat.
“Mau ikut
jalan-jalan gak?” tanya Om Doni lagi.
“Boleh.”
Jawabku semangat, berharap hari ini bsa bertemu dengan Fajar.
“Ayo, yang
lain sudah menunggu di belakang.” Ucap Om Doni bergegas pergi.
Seharian ku
habiskan waktu untuk berjalan-jalan di desa kelahiran bundaku. Tetapi ada rasa
kecewa yang menggelayuti hatiku. Fajar,
ya Fajar, tak ku temui lagi batang hidungnya
di desa ini. Menghilang, lenyap bersama aliran sungai kecil itu. Dengan
terpaksa ku tinggalkan desa ini, dan akan kembali lagi dalam kurun waktu yang
lama.
Pagi itu,
aku kembali ke sekolah. Bersama Kak Oliv kulangkahkan kaki menuju gerbang, di
koridor aku dan Kak Oliv terpish. Di dalam kelas sudah ku lihat ke tiga
sahabatku duduk di bangku mereka.
“Hei, ada
anak baru yang masuk kelas kita.” Ucap Lisa saat aku duduk di sebelahnya. Aku
hanya terdiam tanpa ada rasa penasaran sedikitpun.
Suara riuh
seketika menghilang saat Pak Burhan memasuki ruang kelas kami.
“Itu anak
barunya.” Ucap salah seorang temanku.
Saat ku
tegakkan wajahku yang telah lama ku tundukkan, betapa terkejutnya aku. Anak
baru itu, aku melongo di buatnya. Hampir tak percaya dan benar-benar tak
percaya, anak baru itu ternyata Fajar. Tak berkedip mata ini memandangnya. Dia
duduk di sebelah Singgih.
“Apa itu
benar-benar dia?” gumamku tak percaya.
Ku pastkikan
sekali lagi, dan menoleh ke arahnya dan betapa senangnya hati ini melihat
senyuman manis dari bibirnya, membuatku yakin di benar-benar Fajar yang ku
temui di tepi sungai kecil itu.
“Hai Lya.”
Sebuah suara mengagetkanku. Tanpa menjawab aku langsung menoleh dan tersenyum.
“Fajar.”
Ucapku gugup. Fajar hanya tersenyum dan mengangguk lantas duduk da bergabung
dengan aku, Lisa, Sandra dan Singgih.
“Lho kalin kok seperti sudah dekat?.” Tanya Lisa penasaran. Aku dan Fajar
hanya tersenyum.
Tiba-tiba
Singgih terperanjat dan menyadari sesuatu.
“Eh, kamu
Fajar ya?” tanya Singgih mengejutkan.
“Iyalah,
kita kan tadi udah kenalan.” Jawab Sandra terheran-heran.
“Bukan itu.
Kayaknya aku pernah denger itu dari
Lya.” Ucap Singgih sembari terus berfikir.
Aku hanya
terdiam dan menahan malu, Fajar hanya tersenyum.
“Oh iya, Lya
pernah nyebutin nama Fajar waktu di rumah nenekya di puncak itu loh. Cie pantesan udah akrab gitu, oh
jadi ini yang namanya Fajar, yang buat Lya galau.” Celetus Singgih lantang.
“Ih, apa
sih.” Jawabku sambil tersenyum geli.
Obrolan saat
jam istirahat itu berlanjut hingga bel masuk berbunyi. Obrolan yang sangat
menyenangkan.
Seperti
biasa Kak Oliv menungguku di pintu gerbang dengan wajah sinisnya, menunggu aku
yang sedang asyik mengobrol.
“Lya cepetan.”
teriak Kak Oliv sembari melambaikan tangannya. Aku hanya menegakkam ke lima
jariku dan menghadapkannya ke Kak Oliv.
“Fajar kamu
tinggal di mana?” tanyaku penasaran saat kami berjalan menuju ke gerbang
sekolah.
“Di
Perumahan Ungu Jl. Tulip Nomor 22.” Jawabnya singkat.
“Oh, itu
dekat dengan rumahku dan Singgih, mau bareng?” tanyaku pelan.
“Tidak lain
kali saja, hari ini aku di jemput.” Jawabnya lagi-lgi singkat.
“Ayo nggih.”
Ucapku sembari menarik tangan Singgih dan berjalan menuju Kak Oliv.
“Duluan ya
Jar.” Ucap Singgih sembari melambaikan tangan.
Aku berdiri
di dekat jendela kamarku dan memandang keluar, aku sangat beruntung bisa
bertemu lagi dengan seseorang yang aku suka atau mungkin sayang? Tetapi ini
adalah awal, masih ada banyak tantangan dan tantangan yang mungkin datang
menghampiri kami (Aku dan Fajar) walaupun begitu, terimakasih Tuhan, aku yakin
Engkau akan mempersatukan kami suatu saat nanti. Tapi apakah dia punya perasaan
ang sama denganku? Apa dia akan selalu bersamaku? Semua itu akan terjawab saat
kami sudah siap. Aku akan menyimpan perasaan ini hingga Tuhan mengizinkan aku
mengungkapkannya.
Rts22
Komentar
Posting Komentar