Sahabat untuk Reyna

Assalamualikum, saya kali ini akan memposting cerita tentang persahabatan yang insyaallah bagus dan menarik. penasaran? yuk baca aja. selamat membaca :)




“Rey.” Suara teriakan gadis yang terdengar tak jauh dari tempat Reyna duduk. Reyna hanya terdiam dan terus melamun di kursi taman kompleks itu.
“Sudah menunggu lama ya Rey?” tanya gadis itu sembari mendaratkan tubuhnya di kursi tempat Reyna duduk. Reyna hanya tersenyum lalu mengalihkan pandangannya.
“Sudah lama kita tidak bertemu.” Sebuah kalimat terucap dari bibir Rey setelah sekian lama ia membisu.
“Iya, aku merindukan kamu Rey.” Jawab Greiz sembari memeluk tubuh mungil Reyna. Reyna hanya bisa membalas pelukan Greiz dengan sebuah senyuman hangat dan tangisan haru. “Ada apa Rey? Tanya Greiz yang melihat linangan air mata di wajah sahabtnya itu. Pelukannya meregang. Reyna menatap lekat-lekat mata Greiz seperti ingin memuntahkan ribuan duri yang pernah ia telan.
“Ze,rr,en.” Ucap Reyna terisak. Greis masih bingung dengan apa yang terjadi pada sahabatnya itu.
“Ada apa dengan Zeren? Reyana jawab.” Tanya Greiz penasaran. Melihat jawabannya tak di respon Greiz hanya merangkulkan tangannya di pundak Reyna.
Reyan terus menangis. Greiz hanya bisa menenangkan sahabatnya tanpa tahu sebab apa yang membuat sahabatnya menangis. Dibawah pohon yang cukup rindang itu Reyna dan Sahabatnya menguras semua rasa perih yang telah lama ia pendam.
“Setelah 5 bulan dari kepergianmu Zeren juga ikut meninggalkan ku Greiz. Dia pergi bersama mama dan papa tirinya. Kami sempat berhubungan tetapi setelah hari ulang tahunnya dia menghilang tanpa kabar, menghilang pergi meninggalkan aku. Meninggalkan kita Greiz.” Ucap Reyna pelan sembari menghapus air mata yang sedari tadi membasahi pipinya.
“Tenang Rey, aku akan ada untukkmu.” Jawab Greiz smbari memeluk Reyna sekali lagi.


Pagi itu Reyna berangkat sekolah dengan semangat karena kehadiran sahabatnya bebrerapa  hari terakhir ini. Reyna adalah anak yang pendiam di sekolahya bahkan di dalam kelasnya. Dia adalah anak satu-satuya, mungkin itu yang membuatnya menjadi gadis yang pendiam.
Reyana berjalan di koridor skolah dengan membawa tas ungu kesayangannya itu.
“Aku dengar ada anak baru ya?” tanya salah seorang teman Reyna. Reyna hanya mengangkat bahunya dan kembali menbaca buku yang ia baca sedari tadi.
“Pagi anak-anak.” Ucap Pak Ridwan guru Matematika di kelas Reyna.
“Pagi pak.” Jawab Reyan dan teman-temannya serempak.
“Kenalkan ini teman baru kalian.” Ucap Pak Ridwan sembari menunjuk seorang anak laki-laki di sebelahnya.
“Ayo perkenalkan dirimu.” Ucap Pak Ridwan menyilahkan anak baru itu.
“Perkenalkan nama saya Zeren.” Ucapanak baru itu memperkenalkan diri.
Mendengar nama itu Reyna terperanjat dari duduknya hingga membuat seisi kelas memandanginya.
“Ada apa Rey?” tanya Pak Ridwan saat melihat tingkah laku Reyna yang sangat terkejut.
“Emm, gak pa-pa kok Pak.” Jawab Reyna gugup dan kembali duduk di bangkunya.
“Apa itu dia? Tapi itu sepertinya...” gumam Reyna sembari terus berfikir.
Anak baru itu duduk di belakang bangku Rey dan dia terlihat ramah dengan semua anak di dalam kelas. Kedatangan anak baru itu membuat Reyna tidak berkonsentrasi dalam belajar siang itu hinggal jam pelajaran di sekolah usai.


Reyna berjalan sendirian di koridor sekolah saat menuju pintu gerbang. Kebiasaannya setiap hari tanpa ada sahabat yang menemaninya. Sifat pendiamnya membuat teman-temannya enggan untuk bersahabat dengannya. Mungkin hanya asekedar teman bukan sahabat. Reyna menghentikan langkahnya di sebelah pos satpam yang terdapat banyak siswa yang menunggu jemputan.
“Aku duluan ya.” Suara Zeren anak baru itu yang berpamitan dengan teman-teman yang lain. Reyna langsung mnoleh ke arah suara itu. Di lihatnya lekat-lekat seorang anak laki-laki yang rapi dengan seragam batik biru itu yang tak jauh dari tempat Rey berdiri. Matanya tak beralih pada benda apapun hingga mobil yang di tumpangi Zeren anak baru itu benar-benar hilang dari sudut jalan itu.
“Rey.” Teriak Greiz dalam sebuah mobil yang terparkir di depan sekolah Reyna. Reyna membalasnya dengan lambayan tangan dan berlari menghampiri Greiz.
“Greiz,.,”
“Rey tadi aku sudah minta izin ke mama kamu untuk mengajak kamu jalan-jalan hari ini. Jadi ceritanya nanti saja ya, sambil jalan-jalan. Kita mau kemana dulu nih?” tanya Greiz yang membuat lidah Rey kelu tak bisa berucap apapun selain tersenyum. Padahal Rey ingin menceritakan tentang Zeren anak  baru itu, tetapi melihat keceriaan di wajah sahabatnya itu Reyna tidak ingin membuatnya bersedih karena memikirkan tentang Zeren sahabatnya yang sudah lama amenghilang.
“Terserah kamu saja.” Jawab Reyna sembari tersenyum.


“Reyna bangun sayang.” Sebuah suara yang bergetar di telinga Rey membuatnya membuka mata.
“Iya ma.” Jawab Rey malas dan bergegas duduk di tepi ranjang tempat tidurnya.
“Di depan ada Greiz dan orang tuanya, mereka ingin berpamitan.” Ucap mama Rey pelan.
“Greiz??” jawab Rey terkejut dan segera berlari menuju ruang tamu.
Reyna berlari dan menghampiri Greiz. Menatap lekat wajah sang sahabat yang beberapa hari terakhir in menemaninya. Hatinya perih mengetahui sahabat yang ia tunggu-tunggu kini akan pergi meninggalkannya lagi.
“Rey aku pulang ya?” pamit Greiz pada Rey dengan sangat halus. Reyna hany a terdiam dan perlahan air matanya mengalir.
“Tenang Rey, aku akan mengunjungimu setiap akhir bulan. Aku janji Rey.” Ucap Greiz menenangkan sahabatnya.
“Kamu bohong Greiz, dulu kamu pernah berjanji untuk selalu mengunjungiku tetapi kamu baru datang setelah 7 tahun Greiz.” Ucap Reyna sembari mengusap air mata yang membasahi pipinya “Kini aku sendiri Greiz tanpa kamu dan Zeren, aku mohon jangan tinggalkan aku lagi Greiz.”
Greiz hanya bisa terdiam dan menahan pedih dalam dadanya. Hatinya tersayat melihat sahabtnya menangis karena dirinya.
“Sudah Rey, Greiz kan sudah berjanji untuk mengunjungi kita, jadi kalian akan sering bertemu.” Ucap mama Rey meyakinkan Rey.
Rey hanya terdiam dan berlari memasuki kamarnya dan menutup rapat-rapat pintunya, menyender di belakangnya dan menangis sejadi-jadinya. Rey harus kehilangan sahabat-sahabat terbaiknya.
“Rey.” Teriak Greiz mencoba menahan sahabatnya itu. Ia tahu betapa perihnya harus berpisah dengan sahabat terbaik karena Greiz juga merasakan apa yang Rey rasakan.
“Sudahlah Greiz, Rey pasti mengerti.” Ucap mama Rey menenangkan Greiz.
Greiz hanya menghela nafas panjang dan mengusap air mata yang tidak terasa membasahi wajahnya sedari tadi.
“Tante Greiz pamit ya, titip salam buat Om Rio dan Rey.” Ucap Greiz pada mama Rey dan mencium tangannya dengan lembut.
“Iya sayang, hati-hati ya.” Ucap mama Rey sembari memeluk Greiz.
Kedua orang tua Greiz pun berpamitan. Mereka berjalan keluar menuju teras rumah dan memasuki mobil yang lama terparkir di halaman Rumah Rey.
“Daah tante.” Ucap Greiz sembari melambaikan tangannya dan menutup kaca mobilnya. Mobil itu pun begegas pergi meninggalkan halaman rumah Reyna.
Di kamar Rey mendengar suara mesin mobil yang menjauh dari rumahnya, Rey pun keluar dari kamarnya dan menuju halaman. Di lihatnya sahabat terbaiknya  benar-benar pergi meninggalkannya.
“Greiz jangan tinggalkan aku. Aku mohon Greiz.” Teriak Rey berulang-ulang  sembari terus berlari mengejar mobil Greiz hingga sampai di perempatan komlek. Greiz hanya bisa menagais melihat sahabatnya menahannya dengan tangisan.
“Maafkan aku Rey.” Ucap Greiz pelan sembari menatap sahabatnya yang terjatuh di pinggir jalan dengan deraian air mata. Mobil Greiz pun terus melaju dan benar-benar pergi, menghilang bersama gelapnya fajar.


Reyna berjalan di koridor sekolah dengan lesu dengan wajah murung yang menyelimuti wajahnya. Sesampainya di kelas wajah Rey tetap murung walaupun di dalam kelas sangat riuh dan gaduh. Reyna terus bersedih dan berdiam diri.
“Anak itu?” ucap Reyna sembari menoleh ke arah anak baru itu yang duduk tak jauh dari tempat duduk Reyna.
“Di lihat-lihat dia baik juga.” Gumam Rey sembari terus memandangi Zeren anak baru itu.
Tiba-tiba Zeren menengok ke arah Rey karena merasa di perhatikan dan ia tersenyum manis, karena terkejut Reyna langsung membuang pandangannya pada lukisan di dinding. Dia sangat malu, walaupun hatinya cukup terobati karena melihat senyum manis itu. Zeren cukup di senangi di dalam kelas, hampir semua siswa di dalam kelas mengobrol dengannya. Keriuhan di dalam kelas lenyap saat Bu Indah datang dan tinggalah ketenangan dan keheningan di dalam kelas.


“Kring-kring” Bel sebuah sepeda berbunyi dan di ikuti suara manis seorang anak perempuan “Zeren, Zeren kamu curang, aku seharusnya yang menang.” Dengan wajah kesalnya yang terlihat sangat membara. Dengan santainya anak laki-laki yang bernama Zeren itu hanya tersenyum banggan dan melambaikan tangannya.
“Rey mau ke kantin?” sebuah suara mengagetkan Rey dari lamunannya.
‘Em,.,., boleh, tapi kok kamu tahu nama aku?” jawab Rey terkejut dan terheran-heran.
“Sudahlahlah lupakan saja, ayo.” Ucap Zeren lalu bergegas menuju kantin sekolah.
Di kantin Rey masih terbayang – bayang masa kecilnya dengan Zeren, sehingga sebuah peristiwa yang ia kubur dalam-dalam krmbali melintas ai fikirannya.
“Rey kamu cantik sekali, bisakah kita akan bersama-sama hingga dewasa?” harap seorang anak laki-laki itu sembari menatap mata sang gadis dan meletakkan kedua tangannya di pipi gadis itu dan sesekalimengusapnya. Gadis itu hanya tersenyum manis lalu memeluk tubuh anak laki-laki itu.
“Bisa, pasti bisa.” Ucap gadis itu sembari terus memeluk anak laki-laki itu.
“Apa yang membuatmu sangat yakin?” tanya anak laki-laki itu meyakinkan jawaban sang gadis.
“Karena kita saling menyayangi dan menjaga  satu sama lain.” Ucap gadis kecil itu sembari merenggangkan pelukannya.
“Rey jam istirahat sudah selesai, ayo  masuk ke kelas.” Lagi-lagi suara Zeren mengagetkan Rey dari lamunanya. Rey pun hanya mengangguk lesu dan melangkah meinggalkan kantin sekolah.


Di dalam kelas Bu Indah mejelskan tentang pelajaran Fisika dan itu adalah pelajaran yang tidak di sukai Rey, jadi dia sedikit bosan dengan jam pelajaran Bu Indah.
“Anak-anak, Ibu akan memberikan kalian tugas” ucap Bu Indah di depan kelas dengan lantang “ini tugas kelompok ya, 1 kelompok terdiri dari 2 orang. Tugasnya mennyipulkan tentang pesawat sederhana dalam bentuk kliping, sudah paham?” jelas Bu Indah.
“Ibu akan sebutkan anggota kelompoknya, Doni dengan Mery, Sandi dengan Indri, Fery dengan Muti, Fey dengan Cika, dan yang terakhir Reyna dengan Zeren. Tugas di kumpulkan lusa.” Ucap  Bu Indah sembari membolak-balik buku absen.
Mendengar dirinya satu kelompok dengan Zeren Rey bingung dan mengerutkan dahinya dan enggeleng ragu. Saat Rey menengok ke arah Zeren, Zeren hanya tersenyum.
“Rey kapan kia mengerjakan tugas kelompok ini?” tanya Zeren sembari duduk di sebelah Rey dan tersenyum kecil.
“Em, nanti saja pulang sekolah bagaimana?” jawab Rey sembari membereskan buku di atas mejanya.
“Boleh, nanti aku akan datang kerumah kamu.” Ucap Zeren yang lansung pergi mengambil tasnya dan berlari meninggalkan Rey.
“Hei, tungguu! Jangan di rumahku, aku tunggu kamu di taman komplek rumahku.” Teriak Reyna dan  bergegas mengejar Zeren.
“Zeren, Zeren, tunggu aku. Apa kamu tidak mendengarkan aku?! Hei Zeren berhenti.” Suara Rey yang terdengar di seluruh koridor sekolah.


“Kenapa ini, kenapa jantungku berdebar-debar? Padahalkan hanya ingin bertemu Zeren, huuh mungkin hanya kebetulan saja.” Ucap Reyna yang sedang memilah-milah pakaian yang ada di lemari pakainnya.
“Mama.” Uacap Rey manis saat keluar dari kamrnya dan melihat mamanya duduk santai di sofa sembari membaca majalah.
“Iya sayang. Ehm, anak mama cantik begini mau kemana?” tanya mama Rey  sembari menatap putri sematawayangnya.
“Mau belajar kelompok ma, Rey berangkat dulu ya ma.” Jawab Rey sembari mencium tangan mamanya dan melangkah pergi.
“Iya sayang, jangan pulang terlalu sore.” Uacap mama Rey yang terus memandangi putriNya hingga menghilang di balik gorden ruang teleisi.
“Iya ma.” Jawab Rey dn lansung menutup pintu rumahnya dan melesat  pergi.
Di sepanjang jalan menuju taman komplek Reyna terus bernyannyi-nyanyi kecil.
“Braak.” Sesuatau yang tinggi dan kekar menghantam tubuh Rey.
“Maaf mbak, saya sedang terburu-buru.” Ucap seseorang yang menabrak Rey yang lansung meninggalka Rey yang masih terungkur di  sudut trotoar.
“Bagaimana sih! Sudah menabrak tidak mau membantu. Aduh kakiku, ini emua karena laki-laki itu.” Gerutu Rey sembari memaksa dirinya untuk berdiri tetapi ia selalu terjatuh lagi.
“Sedang apa Rey?” sebuah suara yang mengagetkan Rey.
Rey mendongakkan kepalanya saat sebuah tangan terjulur tepat di depan wajahnya.
“Zeren?” ucap  Rey terkejut saat meliaht seorang itu adalah Zeren orang yang ia akan temui.
“Kok malah balik nanya? Ayo.” Sahut Zeren saat melihat kelakuan aneh Rey yang melihatnya dengan pandangan bingung.
Rey masih bingung kenapa Zeren tiba-tiba ada di hadapannya, tetapi iya langsung meraih tangan Zeren sambil menahan sakit di kakinya.
“Sakit ya Rey?” tanya Zeren sambil memapah Rey menuju taman.
Reyna hanya mengangguk dan menggerutu kesal. Zeren hanya tersenyum geli melihat tingkah  Rey.
“Hey, apa yang kau lakukan? Turunkan aku?” teriak Reyna sembari memkul-mukul punggung Zeren.
Zeren hanya tersenyum dan terus melanjutkan langkahnya menuju taman. Seketika itu suasana hening, Reyna pun luluh terlihat dengan pegangan tangannya yang semakin erat melingkari leher Zeren.
“Kau tak apa?” sebuah suara memecah keheningan.
“Ehem.” Jawab Reyna sembari menggelengkan kepalanya.
“Baiklah kalu begitu.” Uap Zeren singkat lalu menurunkan Reyna dari gendongannya.
“Hey,hey.” Teriak Reya yang terkejut dengan sikap Zeren yang berubah, sembari memincingkan mata.
“Dasar orang aneh.” Ucapnya sekali lagi dengan nada kesal
Zern berjalan lebih dulu dan meninggalkan Reyna di trotoar jalan, sedangkan Reyna di belakangnya menyusul dengan kaki yang terluka.
“Hem, tunggu saja pembalasanku.” Ucap Reyna yang terus menggerutu.


Saat tiba di taman Reyna bengong melihat Zeren yang sudah duduk di sebuah kursi dan membawa kotak P3K di tangannya, dan memilih tempat ang sejuk.
“Dia benar-benar membuatku gila dengan sikapnya.” Gumam Reyna sembari terus berjalan mendekati Zeren.
“Duduklah, jangan seperti orang yang terlihat gila.” ucap Zeren sembari menggulung celana kanan Reyna sehingga lukanya benar-beanar terlihat.
Reyna hanya menjawab dengan senyuman sinis dan segera duduk di bangku taman itu.
“Kapan kau membelinya?” tanya Reyna bingung.
Tanpa menjawab pertanyaan Reyna, Zeren terus mebersihkan dan mengobati luka di kaki Reyna. Susasana pun kembali hening, dengan angin yang bertiup lembut diantara dua insan yang belum pernah dekat sebelumnya, di tambah gugurnya dedaunan kering memberi warna yang berbeda sekaligus membawa Reyna pada sahabat lamanya.
“Sudah selesai.” Ucap Zeren yang langsung mengambil buku yang ada di dalam tasnya.
“Eh, oh, terimakasih.” Ucap Reyna yang seidikit terkejut. Dan diapun segera mengambil bukunya untuk segera memulai belajar kelompoknya.
Zeren pun memulai dengan argumen-argumen yang ia sampaikan pada Reyna, dan mendiskusikannya. Percakapan itu terus berlangsung, terlihat mereka semakin akrab dan tidak canggung dari mereka untuk menggoda satu sama lain, hingga terkadang terdengar tawa-tawa kecil di bawah pohon yang sejuk itu.
“Zeren, apa ini benar-benar kamu?” tiba-tiba suara Reyna memecah suasana belajar mereka. Dan Zeren pun hanya memincingkan matanya dan terlihat bahwa dia sangat bingung.
“Eh, maaf Zeren. Sepertinya aku salah bertanya.” Ucap Reyna tertunduk, menyadari bahwa seseorang yang di hadapannya bukanlah sahabatnya yang sudah lama menghilang.
“Ada apa Rey?” tanya Zeren semakin bingung melihat Reyna yang tertunduk sedih di hadapannya.
“Tidak apa. Aku pulang dulu.” Jawab Reyna sembari memasukkan buku-bukunya ke dalam tas, dan bergegas pergi.
Zeren semakn bingung dengan sikap temannya itu. Dia hanya melihat kepergian temannya dengan bingung dan terus bertanya-tanya, ada apa dengan Reyan dan namanya. Dia terus menatap Reyna hingga ia menghilang, masih terbayang Reyna yang pergi dengan kaki kanan yang terluka dan berjalan pincang yang tanpa menoleh padanya lagi.


Kebisingan di dalam kelas tidak membuat Reyna berkata seucap kata pun. Reyna kembali menjadi anak yang pendiam dan murung. Sedangkan Zeren hanya berani melihat temannya itu dari belakang dan terus berfikir apakah dia salah sehingga membuat Reyna seperti itu.
“Lihat tu, Reyna hari ini kembali seperti sedia kala?” ucap seorang teman sekelas Reyna.
“Iya, apa yang terjadi padanya?” jawab teman yang lainnya.
“Mungkin dia mengingat sahabatnya lagi.” Sahut salah seorang temannya lagi.
“Mungkin.” Jawab teman yang tak jauh dari tempat duduk Reya.
Mendengar perkataan teman-temana Reyna hanya terdianm dan terus menutup mulutnya dengan diam seribu bahasa. Zeren yang mendengar obrolan teman-temannya itu bersikap sebaliknya dengan Reyan dia tertarik untuk meminta keterangan dari teman-teman yang lain.
“Eh apa maksud dari mengingat sahabatnya lagi?” tanya Zeren penasaran.
“Kamu belum tahu?” tanya salah seorang temannya yang terkejut kalau Zeren belum mengetahui tentang teman sekelas mereka yang pendiam dan enggan bersahabat itu. Zeren pun hanya menggeleng dan semakin bingung.
“Reyna adalah siswa pendiam di kelas ini.,”
“Bahkan di sekolah ini.” Sahut teman yang lainnya.
“Lalu?” tanya Zeren semakin penasaran.
“Dia bersikap seperti itu karena dia takut akan kehilangan seseorang lagi. Ya tepatnya sahabatnya, karena dia pernah mempunyai sahabat yang berjanji untuk selalu bersamanya tetapi sahabatnya itu ingkar janji dan pergi entah kemana, apa lagi belum lama ini dia di tinggal pergi oleh sahabatnya yang lain. Jadi karena itu dia tidak bisa dekat dengan seseorang, tapi bukan karena dia sombong atau individualis tetapi karena di takut akan di tinggalkan lagi.” Jelas salah seorang teman yang duduk di dekat Zeren.
“Dan kalau tidak salah sahabatnya yang ingkar janji itu amanya seperti kamu, ya namanya Zeren.” Tambah seseorang lagi.
Zeren terkejut dan tersadar kenapa Reyna berubah sikap seperti ini lagi, karena namanya yang mirip dengan sahabat Reyna itu. Zeren tertunduk lesu dan meninggalkan kerumunan itu.
“Jadi karena dia tidak ingin kehilangan aku dia jadi begini?” “atau karena dia mengira ku sahabatnya dan kemarin ia tersadar bahwa aku bukanlah sahabatnya?” gumam Zeren yang terus menerka-nerka.
Tak lama kemuian bel masuk berbunyi, kelas menjadi tenang dan pelajaran pun di mulai. Reyna dan teman-temannya mengikuti pelajaran dngan tenang dan serius.


Reyna yang duduk sendiri di kantin sejak bel istirahat berbunyi terus mengaduk-ngaduk es yang ada di hadapannya itu. Dengan pandangan kosong ia terus melihat meja di sudut kantin.
“Rey mau pesan apa?” tanya Zeren.
“Aku mau mie goreng aja.” Jawab Reyna sembari menatap lembut mata Zeren.
Air mata Reyna menetes karena menbayangkan kejadian beberapa hari lalu saat Zeren dan dirinya memesan makanan di meja pojok itu. Matanya pun semakin merah saat mengingat kejadian saat mereka pernah dekat dan saat Reyna mengingat kejadian di trotoar dan taman itu maka air matanya pun tak terbendungkan.
“Ini, kamu terlalu manis untuk menangis.” Sebuah suara menghentikan tangisan Reyan.
“Ze ze zeren?” Ucap Reyna terbata-bata.
Zeren pun duduk di depan Reyna dan meberikan sekotak tisu kepada Reyana. Reyna menerima tisu itu dan segera menghapus air matanya.
“Kamu jangan sedih Rey, aku akan ada untuk kamu kapan pun itu. Walaupun aku bkan sahabat mu Zeren tetapi aku akan berusaha menjadi sahabatmu yang terbaik. Aku janji gak akan pergi.” Ucap Zeren sangat hati-hati karena takut hati temannya terluka lagi.
Reyna yang terkejut hanya menggelengkan kepala dan pergi meninggalkan Zeren di kantin dan terlihat air matanya kembali menetes.


Setelah pulang sekolah Reyna segera keluar kelas dan berlari menuju gerbang dan terus berjalan menuju rumahnya. Tetapi terdengar derapan langakah yang mengikuti di belakangnya.
“Reyna tunggu.” Ucap seseorang itu
Reyna terus mempercepat langkahnya sembari mengusap kan tangannya ke pipinya yang telah di banjiri air mata kebimbangan.
“Reyna!” ucap seseorang itu lebih keras lagi dan berusaha meraih tangan Reyana.
Di raihlah tangan Reyna yang lemas itu, dengan pasrah Reyna menghentikan langkahnya.
“Aku sungguh-sungguh dengan perkataanku tadi.” Ucap seseorang itu lagi.
“Tidak! Tidak. Kau bohong Zeren.” Jawab Reyna dengan nada keras sembari membalikkan tubuhnya ke arah Zeren.
“Aku sungguh-sungguh Rey.” Jawab Zeren meyakinkan.
“Tidak! Semua itu omong kosong. Zeren pergi, Greiz juga pergi dan aku yakin kau juga akan pergi. Aku tak mau terjebak dalam kesedihan ini. Aku tak percaya janji persahabatan semacam itu aku muak.” Teriak Reyna sembari terus mengusap air matanya.
“Tapi aku tak akan pergi Rey.” Ucap Zeren yang terus meyakinkan Reyna.
“Sudahlah, aku tak mau mendengar omong kosong itu lagi. Aku tak percaya sahabat atau teman bahkan sahabt sejati.” Ucap Reyna yang mulai melemas.
Zeren hanya tediam dan tak percaya yang di katakan Reyna. Sebaliknya di dalam hati Reyna suara gemuruh itu terus mengganggunya. Sebenarnya ia ngin bisa lebih dekat dengan Zeren tetapi ia taku jikalau Zeren akan meninggalkannya. Dia pun bingung, karena sebenarnya ia ingin mengikat janji itu tetapi lagi-lagi rasa takut itu membuatnya mundur dan menolak janji itu. Dengan langkah yang sempoyongan Reyna meninggalkan Zeren sendiri.
“Baik Rey jika kamu tidak mempercayaiku, tapi aku percaya kamu pasti menginginkan persahabatan ini. Aku tahu Rey!” teriak Zeren yang seketika menghentikan langkah Reyna.
“Ya! Aku sangat menginginkannya, dan kedekatan kita beberapa hari ini membuatku nyaman dan enggan pergi darimu, tapi aku takut, aku takut Zeren, aku takut kenyamanan ini membuatku terlena dan membuatku menyesal suatu saat nanti, karena aku tahu kamu akan pergi.” Teriak Reyna yang langsung membalikan tubuhnya dan iapun terjatuh lemas sembari terus mengais.
Zeren mendekati Reyna yang terus menangis, dan perlahan Zeren mengusapnya dengan tangan kanannya. Dan memandang mata yang penuh kesedihan itu.
“Lupakan semuanya Rey, mari kita mulai dari awal.” Ucap Zeren sembari menggenggam tangan sahabatnya itu.
Reyna tak menjawab tetapi masih terlihat air mata yang mengalir di pipinya.
“Aku yakin kamu bisa Rey.” Ucap Zeren meyakinkan dan mengacungkan jari kelingkingnya dan sesekali mengangguk meyakinkan.
Reyna menyambut uluran jari kelngking itu ragu-agu, walaupun ragu-ragu janji persahabatn itu pum akhirnya terikat walaupaun dengan derai tangis. Tiba-tiba Reyna memeluk sahabatnya itu dengan erat.
“Aku memberikan keperayaan ini padamu, jadi jangan kau sia-siakan kesempatan ini. Jangan membuatku benar-benar tak percaya persahabatan ataupun sahabat sejati. Kau engerti?” Ucap Reyna sedikit mengancam dan memukul-mukul punggung sahabatnya itu.
Zeren hanya tersenyum mendeengar ucapan sahabatnya yang terus memukulinya dengan lembut, karena dia berfikir dia memang tak akan meninggalkan Reyna karena dia berharap persahabatan ini akan lebih dari sebuah persahabatan hingga mereka menyadari perasaan itu.

                                                                                                                       Rts22

Komentar