Assalamualaikum, kali ini Amel aka memposting cerita persahabatan yang menyakitkan, mau tau ceritanya? ayo buruan baca, semoga bermanfaat. selamat membaca :)
Ribuan kata
dan gesekan sepatu dengan lantai bahkan gesekan meja selalu terdengar saat jam
kosong di kelasku. Saat-saat seperti ini yang membuatku bosan di dalam kelas,
semua sibuk dengan obrolannya masing-masing.
“Ndah
ngapain? Kok gak gabung sama yang lain?” suara Tania mengagetkanku.
“Gak pa-pa
kok, Cuma lagi males aja.” Jawabku sembari mengangkat kepalaku yang sedari tadi
aku sandarkan di meja.
“Lihat deh,
mereka makin mesra aja ya?” ucap Tania sembari melirik Rasya dan dan Rania yang
sedang asyik mengobrol di bangku pojok.
Aku hanya
menganggukkan kepala dan kembali menyadarkan kepalaku di meja. Tak lama dari
itu Tania pergi ke tempat teman-teman yang lainnya. Aku terus memandangi
kemesraan temanku itu, mereka memang sepasang kekasih yang resmi jadian 4 bulan
lalu. Saat keduannya masih asyik ngobrol Teresa menghampiri mereka, Teresa
adalah sahabat dekat Rania, mereka bertiga terlihat sangat akrab.
“Permisi,
kak Rania Deswita di panggil ke ruang guru.”terdengar suara seorang adik
kelasku.
Ya aku
memang sisiwi yang duduk di bangku kelas 3 sekolah menengah pertama, semua
teman seangkatanku tentunya menjadi kakak tertua di sekolah ini. Indah, biasa
teman-temanku memanggilku. Terlihat olehku Rania yang melangkah meninggalkan
kelas, meninggalkan kekasihnya dan sahabatnya di bangku pojok itu. Dengan
suasana yang gaduh mereka berdua masih asyik mengobrol di tempat itu. Wajaku
yang masih mengarah ke bangku pojok itu masih melihat Teresa dan Rasya yang
terus mengobrol dan mereka terlihat sangat dekat.
“Mungkin itu
karena Teresa sahabat dekat Rania.” Gumamku saat melihat kedekatan mereka
berdua.
“hah. Tanpi
tunggu dulu, kenapa dia bersikap seperti itu?” ucapku bingung saat melihat
tangan Rasya yang mengelus lembut rambut Teresa.
“Mungkin
hanya kebetulan atau ada sesuatu di rambut Teresa.” Ucapku menenangkan diri.
“ya itu
hanya kebetulan.” Ucapku lagi berusaha melupakan fikiran buruk itu.
“mana
mungkin, mereka kan sahabat.” Gumamku semari mengalihkan pandangan.
Aku beralih
menatap segerombol temanku yang asyik mengobrol sembari membuang fikiran itu
jauh-jauh. Ku lihat Rania yang masuk ke dalam kelas dengan membawa beberapa
helai kertas di tangannya.
“Temen-temen
ini ada tugas dari Bu Dara. Aku bacakan nama kelompoknya.” Ucap Rania lantang
di depan kelas.
“Kelompok 1,
Nia, Fajar, Singgih, Oliv, dan Sandra, bagian kalian cerita Bawang Merah dan Bawang Putih.”
“Ok Ran.”
Jawab Fajar sembari mengacungkan jempolnya.
“Kelompok 2,
Rania, Indah, Tania, Teresa dan Rasya. Hey mana kelompokku?” Tanya Rania yang
mencari anggotanya.
“Iya Ran.”
Jawab Tania yang segera membentuk kelompok denganku, Rasya Dan Teresa.
“Eh, bagian
kita cerita Malin Kundang.” Lanjut Rania membacakan tugas kelompok kami.
“Ah si Rania
enak tu satau kelompok sama Rasya.” Teriak Sandra seketika.
“Huuuu, iya
tu. Enak banget.” Sahut yang lainnya dengan ricuh.
“Ini
kebetulan kok, lagian bukan aku yang buat kelompokknya.” Ucap Rania membela
diri.
“Uudah
lanjutin aja Ran.” Teriak Lala yang sedikit kesal.
“Ok,
kelompok 3, Selvi, Lala, Niken, Dwi, Putra. Tugas kalian cerita Klenting Kuning
Dan Klenting Merah.” Ucap Rania Sembari membalik kertasnya.
“Selanjutnya,
kelompok 4, Nadia,Tiara, Aluia, Nova, dan Erwin. Cerita kalian Cinderella.”
Ucap Rania sembari meletakkan kertasnya di meja guru dan melangkah mendekati
aku dan Tania.
Aku dan Tania saling melempar pandangan
bingung, karena ini memang sesuatu kebetulan yang menguntungkan untuk Rania,
dia satu kelompok dengan kekasihnya.
“Hei, kenapa
bengong? Ada yang aneh?” tanya Rania yang sudah berada di adapan kami.
“Enggak kok
Ran.” Ucap Tania Sembari mengalihkan pandangannya ke meja pojok.
“Oh, mereka
masih di sana?” tanya Rania yang melihat Rasya dan Teresa masih asyik mengobrol
di sana.
“Hei,
kalian.” Teriak Rania kepada kekasih dan sahabatnya yang berada di meja pojok
itu.
Mendengar
teriakan Rania keduanya menengok, dan berjalan beriringan mendekati Rania yang
berdiri tepat di sampingku.
“Kita satu
kelompok ya?” tanya Rasya yang langsung mendekat pada kekasihnya itu.
“Ehem. Kapan
kita mulai belajarnya?” jawab Rania sembari tersenyum.
“Bagaimana
kalau besok pulang sekolah?” jawab Teresa dengan cepat.
“Tapi kita
kumpul di mana?”tanya Tania bingung.
“Di rumahku saja, kebetulan ayah dan bundaku
sedang tugas di luar kota.” Ucapku memberi usulan.
“Ide yang
bagus. Kalu begitu kita kerjakan tugas
ini besok sepulang sekolah di rumah Indah ya? Setuju?” ucap Rania dengan senyum
disudut bibrnya.
“Ok.” Jawab
Rasya,Teresa dan Tania bersamaan.
Pagi ini aku
berangkat di antar oleh tukang ojek di dekat rumahku, karena ayah tidak bisa
mengantarku karena alasan pekerjaan. Saat kakiku menginjakkan lantai di dalam
kelas, tubuhku kaku, aku terasa beku di atas kakiku, mulutku terbungkam seribu
kata, mataku yang melotot melihat kejadian apa yang baru saja aku lihat. Ku
joba memberanikan melangkahkan kakiku, ternyata aku tak bisa. Aku melangkah
mundur dan pergi meninggalkan kelas. Suasana sunyi, angin yang betiup lembut
menerpaku yang sedang berjalan di koridor yang membuatku terus berfikir apa
yang sedang mereka lakukan pagi-pagi di sekolah yang masih sepi. Aku mengehela
nafas sembari melupakan peristiwa yang terjadi beberapa menit yang lalu.
Setelah
beberapa menit menunggu, para sisiwa datang satu-pesatu memasuki kelas mereka.
Tapi belum ada satupun teman sekelasku yang berangkat. Ku tengok alroji ungu
yang yang melingkar di pergelangan tanganku, yang sudah menunjjukkan pikul enam
tiga pulu.
“Hai ndah,
kok belum masuk?” suara Rania yang mengagetkanku.
“E, anu,
itu, em bukuku ada yang ketinggalan jadi aku nunggu kakakku mengantarkannya.”
Jawabku gugup karena memcari alasan yang tepat.
“O, gitu, ya
udah aku duluan ya.” Ucapnya sembari berlalu dari hadapanku. Aku hanya membalas
dengan senyum setengah hati, karea aku takut dia akan melihat peristiwa yang
akan melukaihatinya.
Tanpa di
suruh akupun mengikuti di belakangnya dengan perasaan khawatir. Dia merasa tak
terganggu dengan keberadaanku. Dia emasuki pintu kelas denagn perlahan, aku
berhenti sejenak menghela nafas panjang dan mencoba untuk tenang. Dan aku
memutuskan untuk mengikuti Rania untuk memasuki kelas. Betapa tekejutnya aku
yang melihat Rania dan Teresa yang sedang asyik berbincang di bangku mereka.
“Ada apa
denganku? Apa aku tadi salah lihat? Di mana Rasya?’ tanyaku dalam hati sembari
terus melangkah mendekati bangkuku.
Aku membaca
buku catatan dengan fikiran kemana-mana, hatiku belum tenang sebelum
memastikan. Saat bel masuk berbunyi kurang 5 menit murid di kelasku sudah
lengkap dan siap untuk berdoa dan menyiapkan buku pelajaran sebelum seorang
guru datang.
Jam
istirahat akhirya tiba, hampir separuh murid di kelasku pergi ke kantin. Aku termasuk
yang tinggal di dalam kelas. Tapi kali ini berbeda, tidak banyak yang tinggal
di kelas walaupun mereka tidak pergi ke kantin kebanyakan dari mereka lebih
memilih bersantai di koridor kelas. Aku terus meletakkan kepalaku di atas meja
dengan tumpuan kedua tanganku. Hal seperti ini yang membuatku bosan karena aku
tidak memiliki sahabat dekat jadi aku selalu merasa kesepian. Berulang-ulang
aku menguap, dan perlahan mataku terpejam, suara tedengar samar-samar dan
akhirnya tak terdengar.
“Ndah, ndah
bangun.” Suara yang akhirnya aku dengar. Aku mencoba membuka mataku dan menoleh
ke arah suara itu dan menegakkan kepala.
“Bu Nuri
udah dateng.” Suara itu terdengar lagi.
Saat mataku
benar-benar terbuka. Betapa terkejutnya mengetahui suara itu berasal dari Dwi,
murid paling diam dan menutup diri, walaupun sudah hampir 8 bulan kami duduk
bersebelahan baru kali ini dia berbicara padaku. Aku hanya mentapnya dengan
senyuman, dan mengalihkan pandangan ke meja guru.
“Ndah
cepetan.” Suara Tadia yang berada di teras kelas.
“Iya,
sebentar.” Jawabku sembari memasukkan buku ke dalam tas dan segera menyangklong
tasku lalu bergegas keluar.
Aku berjalan
menyusuri koridor bersama Tania hingga terlihat oleh kami Rania, Rasya dan
Teresa yang berdiri di depan gerbang sekolah.
“Ah, lama
banget sih.” Ucap Rasya kesal.
“Iya-iya,
maaf. Eh kita naik apa nih.” Tanyaku sembari mengamati sekeliling.
“Naik sepeda
aja.” Ucap Rania sembari menunjuk tempat penyewaan sepeda yang dekat sekolahku.
“Hah, ide
bagus.” Jawab Tania sembari berjalan mendahului kami.
Terlihat olehku
dua sepeda yang tersisa di sana, 1 sepeda dengan 3 pengendara dan 1 sepeda
lagi dengan 2 pengendara.
“Gimana nih?
Gak ada sepedah yang biasa?” tanya Teresa bingung.
“Ya udah gak
pa-pa. Aku, kamu sama Rasya naik itu.” Jawab Rania sembari menunjuk sepeda
deagn 3 pengemudi.
“dan itu
untu Tania dan Indah. Setuju kan?” lanjut Rania sembari menunjuk sepeda dengan
2 kemudi itu.
“Setuju.” Ucapku
sembari mengambil sepeda dengan 2 kemudi itu da menyerahka 1 lembar uang 50-an.
Kami bergegas
menuju rumahku, yang tidak terlalu jauh dari sekolah. Kami balapan walaupun aku
dan Tania yang menang tetap saja kami merasa sangat kelelahan.
“Duduk dulu
ya, aku mau ganti baju.” Ucapku sembari berjalan ke arah kamrku.
Rania,
Rasya,Teresa dan Tania duduk di sofa ruang tamuku dan mengangguk pelan.
“Oh iya,
kalu mau minum buat sendiri di dapur atau suruh buatin bibi.” Ucapku sembari
menutup pintu kamar.
“Iya ndah.”
Jawab Rania.
“Ndah, kamar
kecilnya dimana?” suara Tania yang terdengar dali balik pintu kamarku.
“Ayo aku
antar.” Ucapku sembari keluar dari kamar dan berjalan ke arak dapur.
“Eh kalian
tunggu ya.” Ucap Rania yang berjalan meninggalkan Raya dan Teresa.
“Ndah aku
buat minum sendiri ya? Di sanakan buatnya?” tanya Rania yang menunjuk sudut
dapurku.
“Iya, aku
nganterin Tania dulu ya, nanti aku bantuain.” Ucapku sembari berjalan terus.
“Praaaaang.”
Sebuah suara yang terdengar dari ruang tamu.
“Ndah tadi
itu suara apa?” tanya Tania yang baru keluar dari kamar kecil.
“Aku gak
tau, eh tapi tunggu kok ada yang nangis.” Ucapku sembari berlari ke ruang tamu.
Tania mengikutiku.
Aku da Tania
seketika mematung. Tak percaya yang kami lihat. Semua itu begitu menyakitka
bagi Rania.
“Kamu tega
Sa.” Ucap Rania sembari mengenakan tasnya dan berlari keluar rumah dengan
airmata yang berlinang.
“Kalian
keterlaluan.” Bentak Tania Kepada Rasya dan Teresa dan mengejar Rania.
Aku yang
menyadari bahwa suara tadi adalah gelas yang terlepas dari tangan Rania saat
Rania terkejut melihat kekasih dan sahabatnya bermesraan pun ikut berlari
mengejar Rania ke luar rumah.
“Whaaa.” Teriakan
Rania yang terdengar olehku dan menghentikan langkahku.
Ku lihat
Rania yang bersimbah darah di ujung jalan itu, dan terlihat olehku Tania dan
beberapa warga berhambur ke arahnya. Yang aku takutkan selama ini akhirnya
terjadi. Yang aku fikirkanpun semua benar bahwa kedekatan Rasya dan Teresa
bukanlah hubungan biasa, mereka menjalin hubungan special di belakang Rania.
Rts22
Komentar
Posting Komentar